Dalam penyusunan disertasinya, Prof. Dr. KH. Sayyid Agiel bin Husin al-Munawwar (mantan menteri agama RI 2001-2004) pernah mengalami kesulitan mentakhrij 2 buah hadits. Beliau tidak menemukan sanad 2 hadits tersebut. Apakah betul hadits atau bukan. Beliau pun akhirnya sowan mendatangi Syeikh Yasin bin Isa Padang.
Saat mendekat pada Syeikh Yasin, Syeikh Yasin bertanya pada Pak Sayyid Agiel, "indak musykilah?".
"Na'am, ya Syaikh", jawab Pak Sayyid.
Syeikh Yasin mendengarkan 2 buah hadits tersebut dari Pak Sayyid. Syeikh Yasin lalu berucap, "nanti malam saya tanyakan kepada Rasulullah".
Besok pagi, Pak Sayyid menemui Syeikh Yasin. Syeikh Yasin bilang: "Ada kabar gembira buat kamu. Tadi malam sudah saya tanyakan kepada Rasulullah, 2 buah hadits kemarin itu memang sabda beliau. Itu ada dalam kitab ini halaman ini dan juz sekian".
Luar biasa.... Syeikh Yasin bisa bertemu Rasulullah SAW sesuka beliau...
Karenanya, belum pernah saya temukan seorang muhaddits yang mengatakan hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya Ulumiddin itu maudhu' (palsu). Mereka hanya mengatakan "laa ashla lahu". Mereka tahu betul siapa Imam Ghazali, satu-satunya ulama yang bergelar Hujjatul Islam.
Maka berkata Syeikh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Martapura, yang beliau kutip dari kalamnya Syekh Syarwani Abdan Bangil : "Imam Ghazali itu kedudukannya mulhaq bish-shohabat, karenanya beliau tidak menyebutkan riwayat hadits yang beliau tulis dalam kitab-kitabnya. Imam Ghazali sudah diberi makam ijtima', yang bisa bertemu langsung dengan Rasulullah dalam keadaan mimpi ataupun terjaga".
Wallahu a'lam.
Untuk al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Syeikh Yasin bin Isa, Syeikh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, Syeikh Syarwani Abdan, lahum al-Fatihah.....
Oleh : fp KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy
www.facebook.com/story.php?story_fbid=907071452792009&id=427042707461555
Sumber Kyai Shofwan Alwie Husein
Rabu, 22 November 2017
Minggu, 19 November 2017
Pertemuan KH. Ahmah Djazuli pada KH. Addul Hamid
Saat masih muda, KH. Fu'ad Mun'im Djazuli pernah bepergian mengawal ayahandanya, KH. Ahmad Djazuli Utsman, untuk menghadiri sebuah acara di daerah Malang. Mereka pergi dengan mengendarai andong, kendaraan yang tersedia kala itu.
Setelah acara di Malang usai, KH. Ahmad Djazuli bermaksud melanjutkan perjalanan ke Pasuruan untuk bertamu kepada KH. Abdul Hamid. Hal ini membuat KH. Fu'ad Mun'im merasa khawatir, karena uang bekal perjalanan sudah habis. Saat hendak berangkat, KH. Fu'ad Mun'im mengutarakan kehawatirannya pada sang ayahanda, "Ngapunten, Abah! Sangune sampun telas." (Mohon maaf! Abah. Uang sakunya sudah habis) KH. Ahmad Djazuli hanya menjawab singkat, "Laa shohiba ilmin mamquutun." (Tiada seorang berilmu pun menjadi terhina).
KH. Abdul Hamid Pasuruan |
Apa yang menjadi jawaban Sang Ayahanda, rupanya belum dapat menghapus kekhawatiran KH. Fu'ad Mun'im. Di tengah perjalanan KH. Fu'ad Mun'im mengulangi perkataannya, "Abah, artone sampun telas." (Abah, uangnya sudah habis). Dan jawaban KH. Ahmad Djazuli pun tetap sama, "Laa shoohiba ilmin mamquutun."
Mereka akhirnya sampai di kediaman KH. Abdul Hamid. Sebelum mendekat di kediaman, sekali lagi KH. Fu'ad Mun'im menyinggung perihal uang saku yang benar-benar sudah habis. Namun jawaban KH. Ahmad Djazuli tak berubah sedikit pun,"Laa shoohiba ilmin mamquutun"
Tak lama menunggu, mereka dihampiri seorang khodam (pembantu) KH. Abdul Hamid. Setelah mempersilakan masuk, si khodam bertanya, "Ngapunten, njenengan paring asmo sinten?" (Maaf, Anda bernama siapa?)
KH. Ahmad Djazuli menjawab, "Kulo Ahmad Djazuli" (Saya Ahmad Djazuli)
si khodam melanjutkan pertanyaan,:"Saking pundi?" (Dari mana?) KH. Ahmad Djazuli kembali menjawab, "Saking Ploso – Kediri” (Dari Ploso – Kediri) Si khodam mempersilakan mereka supaya menunggu, sebelum kemudian menghaturkan kabar kehadiran KH. Ahmad Djazuli pada KH. Abdul Hamid.
"Ngapunten, wonten tamu saking Ploso - Kediri. Paring asmo Ahmad Djazuli." (Maaf, wonten tamu saking Ploso - Kediri. Bernama Ahmad Djazuli), kata si khodam menghaturkan kabar. Seketika itu KH. Abdul Hamid yang belum pernah bersua KH. Ahmad Djazuli, langsung berteriak, "Djazuli, man jazula ilmuhu" (Djazuli, seorang yang agung keilmuannya).
KH. Abdul Hamid sungguh merasa bahagia mendapat tamu yang istimewa, yakni seorang ‘alim yang tidak lain adalah KH. Ahmad Djazuli. Suguhan untuk tamu istimewa ini pun tentu berupa hidangan- hidangan yang sangat istimewa. Mendapati jamuan yang begitu istimewa, giliran KH. Fu'ad Mun'im sambil tersenyum dan dengan mantap berkata, "Laa shoohiba ilmin mamquutun."
KH. Abdul Hamid tak menyia-nyiakan kesempatan bersua tamu istimewa ini, Beliau kemudian meminta KH. Ahmad Djazuli agar sudi membaca kitab walau sejenak, dengan harapan supaya para santri KH. Abdul Hamid dapat tabarrukan (memperoleh berkah) lantaran KH. Ahmad Djazuli. Tak tanggung-tanggung, KH. Abdul Hamid menyodorkan kitab Tafsir Al Kabir kepada KH. Ahmad Djazuli. Melihat sang ayahanda disodori kitab tersebut, KH. Fuad Mun’im berkata keheranan, "Abah, kitab ipun ageng njih.” (Ayah, kitabnya besar ya). KH. Ahmad Djazuli. Pun menjawab, “Abahmu iki, Le! Isuk sarapane kitab, awan ya kitab, sore ya kitab, bengi ya kitab." (“Abahmu ini, Nek! Pagi sarapannya kitab, awan ya kitab, sore ya kitab, malam ya kitab).
Di saat perjalanan pulang, didalam kereta kuda beliau, ditemukan banyak sekali tumpukan amplop berisi uang. Menyaksikan hal itu, KH. Fuad Mun’im semakin mantap dengan apa yang dikatakan sang ayahanda, KH. Ahmad Djazuli;
"LAA SHOOHIBA ILMIN MAMQUUTUN."
Oleh : fb Aniqulfaiq
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1717304311676526&id=100001909227182
Atau disunting dari status Facebook, Muhamad Anam Gozali, 4 September 2016.
www.facebook.com/athesatrya1/posts/1265194333504287
Kamis, 03 Agustus 2017
Menilik Doktrin Minyak
Setelah berhasil, mulalilah beberapa tokoh wanita Eropa belajar Islam untuk menghancurkan Islam. Bukan teologinya Islam semata yang dihancurkan, tapi tujuan utama adalah pengambilan minyak. Dan membangunlah suatu pola fikir dalam berislam sehingga muncul Ulama Najed Muhammad bin Abdul Wahab dengan kitab Kasyfil Syubhatil Kholqil Ardli wa Samawaat. Sehingga menurut mereka, perilaku perilaku yang selama ini dijalankan umat Islam sudah melenceng dari Islam dan harus dibunuh.
Begitu Arab dalam kekacauan, muncullah seorang tokoh Ibnu Saud dengan 40 orang yang dipersenjatai dengan senjata api oleh Eropa guna menguasai Arab dan berhasil. Untuk lebih leluasa menguasai dan melaksanakan doktrinnya, semua situs situs Islam dihancurkan dengan dalih pemurnian Islam kembali pada Quran dan Sunnah. Tak terkecuali makam Rasulullah jadi sasaran, meski akhirnya digagalkan para Ulama NUsantara dengan komite hijaz NU-nya. Berhasilah Ibnu Saud menguasai Arab dan dimulailah misi pengambilan minyak Eropa dengan berdirinya Aramco, perusahaan minyak pertama di Arab.
Kamis, 01 Juni 2017
NU dan Pancasila
"Jika tidak suka dengan pancasilaku, buatlah pemersatu bangsa pancasila versi kalian"
Setelah ditunggu-tunggu ternyata masih alot dan tidak bisa selesai dan hanya mampu menambah tujuh kata dalam piagam Jakarta. Dan karena redaksi piagam Jakarta itupun oleh sebagian dinilai kurang pas dan aneh. Lagi-lagi Bung Karno angkat bicara.
"Sudahlah, jika hanya membuat saya tambah pusing, ada baiknya kalian sowan sajalah pada ketua Ulama se-Indonesia KH. Hasyim Asya'ri mumpung disini juga ada putra beliau KH. Wahid Hasyim"
Dan KH. Wahid pulang ke Jombang sowan pada abahnya KH. Hasyim Asya'ri guna menyampaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
"Gimana bah, Pancasila apa sudah betul secara syar'i?"
"Nanti dulu ya, biarkan saya puasa dulu tiga hari, baca ini 350 ribu kali, setiap ini diulang 350 ribu kali, setelahnya sholat hajat dengan surat ini dan ini masing-masing 41 kali."
Barulah akhirnya KH. Wahid didawuhi abahnya KH. Hasyim Asya'ri. Bahwa Pancasila sudah benar menurut syar'i dan hapus saja tambahan kata dalam piagam Jakarta tersebut.
Jadi sepertinya tidak heran dengan bagaimana ta'dzimnya Bung Karno pada KH. Hasyim Asya'ri bahkan sesudah wafatnya. Sampai-sampai setiap kali Bung Karno masuk Jombang, beliau tidak berani memakai sepatunya.
"Saya tidak mungkin memakai sepatu di sini, karena di sini telah terbaring jasad seorang Ulama yang juga telah menyelamatkan Pancasila yang pernah saya buat dan belum selesai."
Oleh : Admin Imam Mahmudi
Diambil secukupnya dari dawuh Gus Muwaffiq
www.youtube.com/watch?v=J3WLCBQaqVA
Jumat, 19 Mei 2017
Kebersahajaan KH. Muhammadun Pondowan Pati
Mbah Madun, ( panggilan akrab KH. Muhammadun ) figur Kiai yang sangat bersahaja dan dikenal Zuhud. Karena memang begitulah kenyataannya. Beliau diciptakan seakan-akan bukan untuk melayani kemewahan duniawi. Apa yang santri makan itu pula yang beliau dan orang-orang rumah beliau makan. Beliau melayani kebutuhan anak istrinya dengan tangan beliau sendiri. Setiap malam, sebelum fajar datang, beliau menimba air dan memanaskannya untuk keperluan mandi Bu Nyai .
Melihat pemandangan tersebut, terkadang beberapa santri mencoba merebut kebiasaan harian beliau ini.
'' Biar kami saja yang menimba, Yai '' Kata santri. Namun beliau menolak halus.
'' Tidak, biarkan aku yang menimba. Kalian itu tahu tidak, siapakah Bu Nyai yang menjadi Istriku itu? Bukankah dia itu anaknya Kiaiku. Aku setiap malam menimba itu aku niati hidmah sama putrine Kiaiku ''
Secara dhahir, pekerjaan Mbah Madun itu tidak ada. Kerjaannya setiap hari hanya mengajar santri di pesantren dan berdakwah kepada masyarakat. Tetapi keyakinan soal rejeki yang ditanamkan beliau kepada para santri itu sangat khas Kiai. Kata beliau :
'' Angger Alfiyahe di kebuk, metu duwite ... ''
Artinya, asal tetep mengajarkan ilmu, rejeki datang sendiri.
Pernah terjadi jatah beras di dapur habis. Ibu nyai sudah was was. Kalau dibiarkan, esok hari penghuni rumah bisa tidak makan semua. Namun Mbah Madun tetep santai . Kegiatan harian beliau tetap beliau jalankan seperti biasa. Dan fajar harinya, saat pulang jama'ah Shalat Subuh, beliau mendapati ada satu karung beras tergeletak didepan pintu rumah. Beliau panggil santri :
'' Kang, masukkan beras ini ke dapur, biar seneng hatinya Bu Nyai ...''
'' Dari mana beras ini, Yi? '' Tanya seseorang.
'' Tidak usah tanya. Ada didepan pintu rumahku ya berarti beras ini miliku ''
Jawab Mbah Madun seasalnya.
Di sekitar kita mungkin ada dan masih banyak sosok-sosok yang seperti beliau. Namun, kehilangan satu sosok seperti beliau ini secara lahiriyyahnya adalah sebuah bencana bagi kehidupan, karena kita yakin betul, Mautul Alim Mautul Alam. Kematian seorang Ulama sama artinya dengan kematian semesta.
Oleh : fb Madad Salim
Diambil secukupnya
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1416682158369974&id=100000846113244
Melihat pemandangan tersebut, terkadang beberapa santri mencoba merebut kebiasaan harian beliau ini.
'' Biar kami saja yang menimba, Yai '' Kata santri. Namun beliau menolak halus.
'' Tidak, biarkan aku yang menimba. Kalian itu tahu tidak, siapakah Bu Nyai yang menjadi Istriku itu? Bukankah dia itu anaknya Kiaiku. Aku setiap malam menimba itu aku niati hidmah sama putrine Kiaiku ''
Secara dhahir, pekerjaan Mbah Madun itu tidak ada. Kerjaannya setiap hari hanya mengajar santri di pesantren dan berdakwah kepada masyarakat. Tetapi keyakinan soal rejeki yang ditanamkan beliau kepada para santri itu sangat khas Kiai. Kata beliau :
'' Angger Alfiyahe di kebuk, metu duwite ... ''
Artinya, asal tetep mengajarkan ilmu, rejeki datang sendiri.
Pernah terjadi jatah beras di dapur habis. Ibu nyai sudah was was. Kalau dibiarkan, esok hari penghuni rumah bisa tidak makan semua. Namun Mbah Madun tetep santai . Kegiatan harian beliau tetap beliau jalankan seperti biasa. Dan fajar harinya, saat pulang jama'ah Shalat Subuh, beliau mendapati ada satu karung beras tergeletak didepan pintu rumah. Beliau panggil santri :
'' Kang, masukkan beras ini ke dapur, biar seneng hatinya Bu Nyai ...''
'' Dari mana beras ini, Yi? '' Tanya seseorang.
'' Tidak usah tanya. Ada didepan pintu rumahku ya berarti beras ini miliku ''
Jawab Mbah Madun seasalnya.
Di sekitar kita mungkin ada dan masih banyak sosok-sosok yang seperti beliau. Namun, kehilangan satu sosok seperti beliau ini secara lahiriyyahnya adalah sebuah bencana bagi kehidupan, karena kita yakin betul, Mautul Alim Mautul Alam. Kematian seorang Ulama sama artinya dengan kematian semesta.
Oleh : fb Madad Salim
Diambil secukupnya
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1416682158369974&id=100000846113244
Jumat, 12 Mei 2017
Antara Kiai Maimun Zubair dan Kiai Dimyati Rois
Kiai Maimun Zubair dan Kiai Dimyati Rois, keduanya secara fisik memang jarang bertemu tapi sepertinya tidak dengan hati beliau. Dua Ulama sepuh yang merupakan bagian dari Ahwa 9, yaitu Ulama Sembilan yang menjadi Rujukan menentukan Rois Aam PBNU pada Muktamar ke 33 di Jombang.
Abah Dim (panggilan akrab Kiai Dimyati Rois) merupakan murid dari Kiai Zubair Sarang yang merupakan orang tua dari Kiai Maimun. Tapi antara Kiai Maimun dan Kiai Dimyati sangat jarang bertemu, ini karena pada saat Abah Dim ngangsu kaweruh selama 7 tahun di Sarang tepatnya di MIS asuhan Kiai Imam Kholil nderek Ndalem (santri Hidmah), sementara Mbah Maimun masih menuntut ilmu di negri Hijjaz. Namun demikian, keduanya memiliki kedekatan emosional yang sangatlah dekat, karena Kiai Maimun itu Gus e bagi Abah Dim, dan banyak sekali kecocokan pandangan antara keduanya.
Abah Dim pernah menjelaskan Bahwa Mbah Zubair itu La'llahu Faqih Zamanihi , artinya bahwa Mbah Zubair adalah diantara Ulama yang Allamah pada zamannya. Mbah Zubair itu saat membaca kitab, baru membaca saja sudah seperti menjelaskan, santri yang mengaji sudah faham. Ini sama seperti halnya yang disampaikan Kiai Maimun : Mbah Zubair niku Yen Moco kitab kados dene nerangake.
Suatu ketika para alumni Alfadlu pesantren asuhan Abah Dim, berziarah pada Masyayikh Syaikhina. Diawali dari Kaliwungu, lanjut ke Lirboyo dan beberapa daerah di Jawa. Pada saat rombongan di Sarang sowan pada Kiai Maimun,
Ngendikane Mbah Mun : Mbah Zubair niku mboten gadah pondok, tapi seng nderek ngaji yo ono teng ndaleme, Mbah ber senajan gak ono pondoke, mung katon sinare, nak neng Kudus koyok Mbah Asnawi.
( Mbah Zubair itu tidak punya pondok, sehingga yang ngaji pada beliau ditempatkan di dalam rumah, meskipun demikian rupanya kealiman beliau begitu bersinar. Sama halnya di Kudus seperti Mbah Asnawi. )
Kiai Maimun melanjutkan...
Sakwuse bapakku wafat, terus kepekso aku berusaha senajan abot, anane pondok yo ngarep omah iki, seng pertama kali ngirim santri ndok pondok iki, yo Mbah Dim.
( Setelah ayah saya (Mbah Zubair) wafat, saya terpaksa membuat pondok meskipun susah. Dan yang pertama kali mengirim santri di pondok ini ya Mbah Dim. )
Abah Dim pun mengalami Hal yang sama, bahwa memangku pondok itu dipaksa oleh keadaan. Terutama pondok putri Alfadhilah itu sejatinya di buat pondok karena ada seorang dari Tegal Gubug Cirebon menitipkan putrinya. Yang padahal sudah ditolak namun si putri tetap ditinggal hingga temannya pun santri putri banyak dan berkembang hingga sekarang. Adapun yang menamai Alfadhilah adalah Mbah Cholil Bisri Rembang.
Mengenai santri pertama Mbah Maimun, beberapa hari lalu pada acara Haflah Lirboyo, Mbah Maimun menceritakan bahwa santri pertamanya adalah Gus Imam Makhrus Ali Lirboyo. Diketahui pula bahwa Abah Dim mempunyai kedekatan yang erat terhadap Kiai Makhrus Lirboyo bahkan sampe ke tiga putra Kiai Makhrus itu mengaji di Kaliwungu di ikutkan pada Abah Dim .
Kepada keduanya mari kita kirim alfatihah semoga keduanya diberikan kesehatan dan panjang umur senantiasa menuntun kita semua. Juga kepada ulama Almadzkur pada tulisan diatas semoga keberkahannya melimpah pada kita semua.
Oleh : fb Ali Nahdhodin pada fp Pecinta KH Dimyati Rois
Disunting sebisanya
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1704345976526362&substory_index=0&id=1469902459970716
Selasa, 11 April 2017
Kiai Arwani Jadi Rebutan Bidadari
Kiai Arwani Amin Kudus, Allahu yarham, beserta putra-putranya tidak habis pikir mengapa akhir-akhir ini istri beliau sering uring-uringan. Padahal sebelum Kiai Arwani sakit, istri beliau tidak pernah berperilaku demikian. Sebelumnya beliau justru menjadi istri yang sangat lembut. Namun setelah Kiai Arwani sakit, keadaan berbalik begitu drastis.
Karena kebingungan, kedua putra Kiai Arwani sowan kepada Maulana Habib Luthfi di Pekalongan. Kepada beliau mereka menyampaikan permasalahannya dan memohon petunjuk. “Ini bagaimana, Habib?” Keluh mereka.
Mendengar penuturan keluarga Kiai Arwani ini, Habib Luthfi tidak segera berbicara. Sejenak beliau terdiam lalu tersenyum. “Nggak apa-apa,” kata beliau
Kemudian beliau melanjutkan. “Ibu kalian uring-uringan itu wajar. Dia lagi cemburu.”
“Cemburu bagaimana, Habib?” Tanya mereka tak memahami.
“Allah memberi kasyaf (tersingkapnya tabir gaib) kepada ibu kalian sehingga dapat melihat suaminya, yaitu abah kalian, sedang menjadi rebutan para bidadari,” jelas Habib Luthfi.
Ketika kedua putra Kiai Arwani pulang kembali ke rumah, mereka menanyakan kepada ibunya perihal sering uring-uringannya itu. Sang ibu dengan tegas menjawab, “Bagaimana tidak marah, lah wong setiap hari aku melihat abahmu dipeluk perempuan cantik-cantik!”
Bila baru sakit saja sudah menjadi rebutan bidadari, bagaimana nanti setelah meninggal dunia? (Dikisahkan oleh KH. Subhan Makmun, Rais Syuriyah PBNU, dalam kajian kitab Tafsir al-Munir di Islamic Center Brebes, Ahad 7 Februari 2016).
Oleh : fb Syaroni as-Samfuriy
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1861837184070712&id=100007333444605
Rabu, 22 Februari 2017
Mbah Salam Pati Cegah Mengaji Al-Hikam
Putra Mbah Salam, Kiai Abdullah Salam (tengah) bersama Habib Luthfi Pekalongan dan Habib Ali Bafaqih Bali |
Al-Hikam, kitab karangan seorang sufi besar Syeikh Ibnu 'Athoillah ini sangatlah terkenal bagi umat Islam. Kitab ini membahas tasawwuf atau kerohanian dalam beragama, guna menjalankan hati dalam penghambaan. Di Indonesia, hampir seluruh Kiai khususnya aswaja memberikan kajian kitab ini kepada santri-santrinya. Mengingat isi kalam-kalam hikmah kitab ini begitu dalam yang mampu menghipnotis kerohanian pembacanya untuk lebih berma'rifat kepada Allah.
Tapi rupanya tidak bagi Kiai Salam (Mbah Salam) Kajen Pati, setiap ada orang mengaji kitab al-Hikam justru dilarang. Dan bukan hanya basa basi, siapa yang tak diizinkan Mbah Salam ternyata setiap melihat isi kitab Al-Hikam malah kebingungan. Al-Alamah Mbah Mahfudz pun tak luput mengalami demikian, karena beliau juga tidak diizinkan oleh Mbah Salam.
Mungkin cara pandang tentang thariqah beliau, seperti pandangan Imam Malik dan beliau menjabarkan,
"ilmu Thoriqoh kui dak usah ti ji, angger mu'takade sah lajeng ngamal coro syariat InsyaAllah inkisyaf, dugi mriku piyambak."
("ilmu Thoriqoh itu tidak perlu dipelajari, asal i'tiqodnya benar dan beramal secara syariat, insyaAllah akan kasyaf sampai sendiri")
Mungkin tampak aneh, karena akhirnya putra Mbah Salam sendiri yakni Mbah Abdullah Salam begitu menguasai dalam mengkaji kitab Al-Hikam. Dan ternyata hal tersebut atas izin Sang Wali Pasuruhan, Kiai Hamid. Sampai-sampai KH. Muhammadun Tayu Pati dawuh yang kurang lebih,
"Jika saja Mbah Abdullah belum mendapatkan izin dari Kiai Hamid untuk mengkaji Al-Hikam, Mbah Salam ayahnya yang didalam kubur akan menemui Mbah Abdullah dan tetap tidak mengizinkan. Tapi kalah dengan keromah Mbah Hamid"
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil kurang lebihnya dari dawuh KH. Muhammadun Pondowan Tayu Pati
Senin, 13 Februari 2017
Kiai Ma'ruf Irsyad Mendatangi Ilmu
KH. Ma'ruf Irsyad (kiri) dan KH.Arifin Fanani |
Suatu hari, KH. Ma’ruf Irsyad (Allah yarham), disowani (didatangi) seseorang, untuk keperluan menanyakan perihal hukum fiqih. Kepada Kiai Ma’ruf, sang tamu menjelaskan pertanyaannya, begini dan begitu.
“Jenengan tunggu di sini, saya tanyakan dulu kepada kiai yang lebih alim dalam masalah ini,” kata Kiai Ma’ruf.
KH. Ma’ruf Irsyad Kudus kemudian mengambil sepeda unta miliknya, yang biasa beliau gunakan mengajar di Madrasah TBS Kudus dan Qudsiyah. Dikayuhnya sepeda butut tersebut ke arah Utara. Ternyata, beliau pergi ke ndalem (rumah) KH. Arifin Fanani, Kwanaran, kiai pakar ilmu fiqih di Kudus.
Kiai Ma’ruf mengetuk pintu. Dibukalah pintu itu oleh KH Arifin sendiri. Kebetulan tidak sedang tindakan (bepergian). Kepada Kiai Arifin, Kiai Ma’ruf menjelaskan maksud kedatangannya, menanyakan perihal hukum yang termaksud. Mendengar itu, Kiai Arifin terkejut. Kepada Kiai Ma’ruf yang usianya lebih sepuh puluhan tahun, Kiai Arifin bertanya:
“Panjenengan kok dibela-belain datang ke sini, menaiki sepeda sendirian. Alangkah baik umpama cukup lewat telepon saja, yi,”
“Ilmu itu didatangi, dan dia tidak (patut) mendatangi,” kata Kyai Ma’ruf.
Oleh : Santrimenara
Kamis, 09 Februari 2017
Kiai Chudlori dan Santri Pencuri Bebek
Pesantren API Tegalrejo masih diasuh Kiai Chudlori. Suatu malam ada santri mencuri bebek (menthok, jawa). Cak Min, warga pemilik bebek awalnya curiga melihat aliran air membawa bulu-bulu bebek, langsung saja menyelidiki dari mana asal bulu-bulu tersebut. Ternyata di atas bukit sedang asyik santri menyembelih bebeknya. Tanpa menegur santri, Cak Min ke Pesantren dan melaporkan pada keamanan Pesantren. Langsung, keamanan melaporkan kejadian tersebut pada Kiai Chudlori. Bukannya mendapat respon, Kiai menanggapi datar dan hanya mengiyakan.
Esoknya, bukannya santri yang dipanggil Kiai menghadap, tapi malah Cak Min pemilik bebek dijumpai oleh Kiai.
Dengan nada berharap, Kiai dawuh pada pemilik bebek
"Cak, santriku itu dibelain jauh-jauh mondok kemari,, masa karena bebek njenengan, hilang keberkahan ilmunya"
"Bukannya begitu Yai, tapi... "
"Tolong dimaafkan ya Cak, ini sebagai ganti ruginya"
Kiai sambil memberikan uang pada pemilik bebek.
Santri tidak mengira bahwa Kiai tahu apa yang dia lakukan. Karena Kiai sendiri juga tak sedikit pun marah atau bagaimana, seolah tak terjadi apa-apa dan santripun merasa aman-aman saja. Hingga dua bulan berlalu, ketika Kiai mengajar Nahwu dan seperti biasa tamrinan, yakni Kiai memberikan pertanyaan pelajaran sebelum pelajaran usai. Sampai pada bab alam / nama khusus dan umum (personal/general).
Kiai menunjuk santri tersebut, dan santripun berdiri tanpa ada curiga,
"Fulan,, bebek itu nama khusus apa nama umum"
Bukannya menjawab pertanyaan, santri tersebut malah bersimpuh dan menangis di depan Kiai.
"Maaf, Kiai maaf,, saya mencuri Kiai,, maaf"
Dengan sendirinya dia tersadar, bahwa sebenarnya Kiai mengerti semua yang terjadi. Dan dengan kasih sayang serta berkah doa Kiai itulah, santri tersebut tetap mendapatkan keberkahan ilmu dan menjadi Kiai besar.
Adalah bagaimana Ulama terdahulu membimbing dan menghadapi kesalahan seseorang. Memanusiakan manusia.
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh Gus Dur dan KH M. Najib Muhammad.
Selasa, 31 Januari 2017
Santri Nakal Didikan KH. Fattah Hasyim
Suatu hari di sebuah pesantren, keamanan menangkap santri yang sedang mencuri. Santri tersebut sudah tertangkap beberapa kali dan akhirnya disidang pihak keamanan pesantren. Ironisnya yang dicuri adalah pakaian dalam santri putri (BH,red).
Dilaporkan pada Kiai perihal tersebut
"Yai,, santri ini nakal, sering mencuri BH, kami dari pihak keamanan menginginkan santri ini dikeluarkan"
"Lhooo.. Kalau santri ini nakal jangan bilang saya, saya sudah tahu. Lha dia dipondokan disini karena nakal kok. Apa tak malu, kita dititipi untuk memperbaiki belum baik kok sudah dikembalikan."
Jawab Kiai,, yang membuat kaget para keamanan.
"Tapi ya sudah,, saya hargai hasil musyawarah keamanan bahwa santri ini dikeluarkan dari pesantren, tapi biar sekarang dia tinggal dirumahku saja."
Imbuh Kiai yang semakin membuat keamanan kaget. Bagaimana perlakuan Kiai terhadap santri/orang yang sangat nakal sekalipun.
Walaupun tinggal di rumah Sang Kiai, tak banyak yang harus dikerjakan santri tersebut. Ketika Kiai mau mengajar mengaji, santri cuma disuruh membawakan kitab dan menandai setiap bagian akhir Kiai mengajar. Setiap Kiai mau mengimami sholat santri disuruh mempersiapkan tempat, hanya begitu seterusnya selama dia mondok.
Ternyata dengan cara sederhana tersebut, otomatis dia selalu mengaji dan menyimak setiap kajian dan dawuh Sang Kiai. Begitu juga dengan sholat berjamaah, yang bahkan jadi terbiasa mengikuti Sang Kiai sholat malam.
Setelah beberapa tahun, akhirnya santri tersebut pulang. Tanpa disangka di kampung dia didatangi banyak orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hingga dibuatlah sebuah pesantren karena santrinya yang semakin banyak.
____________
Diambil dari dawuh KH. Anwar Zahid Bojonegoro. Ada versi lain dawuh dari Gus Dur ketika di Tegalrejo yang hampir sama dan mungkin sama bahwa Kiai tersebut adalah Kiai Fattah Hasyim Jombang, sebagai keamanan pesantren adalah Gus Dur sendiri dan santri tersebut dirahasiakan. Tapi untuk yang dicuri tidak dijelaskan BeHa.. Hahaha.. Meskipun demikian, ada lagi versi cerita
Pada suatu kesempatan, Gus Dur bertemu santri tersebut yang sudah menjadi Kiai dengan banyak santri. Seolah hanya nyindir dengan santai Gus Dur bertanya,
"yang kamu curi warnanya apa Ndaaa..,?"
Sontak, mereka berdua langsung tertawa terpingkal-pingkal.
Wallahu A'lam...
Al-Faatihah...
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh Gus Dur dan KH. Anwar Zahid
Senin, 30 Januari 2017
Berkah Rokok Kiai Wahab Chasbullah
Ada seorang santri dari Cirebon, mondok kepada KH. Wahab Chasbullah (pendiri NU). Santri dahulu, saat malam Jumat yang kegiatan sedikit longgar, biasa memasak bersama-sama untuk mengganjal perut. Setelah makan, merokok adalah menjadi kebiasaan kebanyakan santri untuk mengobati kepedasan makanan dan mendatangkan kenikmatan tersendiri.
Celakanya, setelah mencari kesanan kemari, santri tersebut tidak menemukan rokok. Dan ditengah kebingungan dan saat itu masih sangat gelap karena belum ada listrik, dari jauh terlihat seseorang sedang berjalan dan merokok. Tanpa berfikir panjang santri tersebut berlari menghampiri
"Kang, sak sedotan"
(Kang, minta satu hisapan)
"nyoh.. " (ini)
sembari memberikan rokoknya
Karena hanya minta satu hisapan, santri tersebut menghisap kuat-kuat rokoknya. Sehingga dengan cahaya dari rokok, dengan kaget santri tersebut tau jika orang yang dimintai rokok tersebut bukanlah seorang santri melainkan Kiainya yakni Kiai Wahab. Langsung, santri tersebut berlari..
"Yai... Ngapunten..."
(Kiai... Maaf..)
Rokok pun terbawa
"Kang... Jare sak sedotan.. ?"
(Kang... Katanya cuma satu hisapan)
Kiai Wahab, mencoba menghentikan santri tersebut yang terus berlari.
Akhirnya, santri tersebut menjadi Kiai besar yang memiliki santri ribuan di Cirebon
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh KH. Anwar Zahid dan KH. M. Najib Muhammad.
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh KH. Anwar Zahid dan KH. M. Najib Muhammad.
Kamis, 26 Januari 2017
Gus Dur Puasa Suro
Seusai acara, Gus Dur dengan keseriusan berbicara pada A.S Hikam temannya,
"Kam, besok puasa lho kam"
"Ah, yang bener Gus"
"Iya Kam, lumayan.. Dawuh Kiai tadi puasa sehari seperti puasa setahun"
A.S Hikam kurang percaya, karena keadaan Gus Dur yang kurang baik di tengah banyaknya kegiatan. Keesokan harinya, mereka berdua harus pergi ke Tuban menghadiri acara haul. Ditengah perjalanan sekitar waktu Dhuhur, Gus Dur meminta A.S hikam berhenti
"Kam, berhenti cari tempat makan"
"Loh, kan puasa Gus.. ini masih tengah hari"
"Iya Kam, saya ambil setengah tahun saja, lumayan"
Jawab Gus Dur datar.
Oleh : admin Imam Mahmudi
Dari dawuh KH. M. Najib Muhammad
Rabu, 25 Januari 2017
KH Tolhah Mansur Berkah Tikar
KH Tolhah Mansur adalah pendiri salah satu badan otonom NU yakni IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). Mungkin tak ada yang mengira, bahwa Kiai Tolhah dilahirkan dari lingkup keluarga biasa bukan dari keluarga kalangan pesantren. Pak Mansur ayahnya, adalah seorang penjual tikar, beliau sangat memuliakan para Kiai. Karena tergolong hidup pas pasan, Pak Mansur sering tabarrukan dengan memberikan tikar-tikarnya pada para Kiai.
Putra Pak Mansur ini lantas menjadi Kiai besar, KH Tolhah Mansur pendiri IPNU. Yang akhirnya beliau diambil menantu oleh KH. Wahib putra dari KH. Wahab Chasbullah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. KH. Tolhah Mansur mempunyai putra yang salah satunya adalah Romahurmuzy yang sekarang menjadi ketua PPP pusat.
Ada cerita yang hampir sama, yakni seorang wali dari Madura. Meski hanya orang biasa, tapi setiap acara Haulnya Raden Ibrahim alias KH Syamsul Arifin ayah dari KH As'ad Syamsul Arifin, beliau selalu memberikan sapi untuk acara Haul. Mungkin sebab memuliakan KH Syamsul Arifin yang merupakan wali inilah, akhirnya orang tersebut juga menjadi wali.
Banyak kisah seperti kisah kisah di atas, dan sebagaimana yang disampaikan KH Qoyyum Mansur saat haul KH Bisri Syansuri Denanyar Jombang 2016. Bahwa banyak orang biasa jadi Kiai karena orang tuanya memuliakan Kiai. Banyak Kiai yang anaknya jadi orang biasa karena menghina kebodohan orang. Kiai barokahi, wong bodo malati (Kiai membawa berkah, orang bodoh bisa menjadi sebab kuwalat).
Oleh : fb Fatih ElMufid
Diambil secukupnya dari dawuh KH. Ahmad Hasan, Rois Syuriyah MWCNU Jombang Kota di Masjid Ar-Raudhoh Sabtu 17/1/2017.
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10206266381257924&id=1817501487
Kamis, 19 Januari 2017
Kiai Maimun Zubair Bercerita Pandawalima (Bag. 1)
Dalam Islam dari permulaan sudah diberi pelajaran bahwa untuk mendapat kebahagiaan lahir batin dunia akhirat agar menjalankan rukun-rukun Islam yang lima. Bagi pecinta pewayangan tentu kita mengenal Pandawalimo (pandowolimo) atau juga disebut Baladewa dan bukan Balakurawa. Mereka adalah Punthadewa, Brantasena, Janaka, Nakula, dan Sadewa yang merupakan penggambaran lima rukun Islam.
Punthadewa adalah sesepuh dari Pandawalima yang mempunyai jimat Kalimasada (kalimososdo). Kalima itu kalimat dan Sada itu adalah Syahadat yang berarti Kalimat Syahadat. Atau juga diartikan kalima itu kelima dan Sada (sodo) yang dalam bahasa jawa kuno adalah dua belas, yang jika dijumlah menjadi tujuh belas. Disini adalah penggambaran bahwa seseorang bisa dikatakan Syahadad (mengakui adanya Allah), adalah dia yang bersungguh-sungguh disertai menjalankan sholat 5 waktu yang berjumlah 17 rakaat.
Brantasena (brontoseno) Pandawalima ke dua yakni yang mempunyai jimat Kuku Pancanaka. Kuku adalah kuku jari, panca berarti lima sedangkan naka berarti waktu. Disini adalah penggambaran bahwa siapa yang mau menjalankan sholat lima waktu akan mendapatkan surga. Mengapa diartikan surga, karena kuku adalah lambang dari surga yang tak lain jika mengingat kisah Nabi Adam dan Siti Hawa. Beliau berdua dijatuhkan dari surga dan sifat dari surga jadi berangsur berubah. Rambut jadi memutih, gigi pun juga berangsur terlepas kecuali kuku yang nyaris tetap.
Ini juga yang menjadi sebab mengapa Brantasena satu-satunya wayang yang bisa disujudkan, karena sujud merupakan lambang dari sholat. Yakni pengabdian Brantasena kepada Hyang Widhi, Hyang adalah Tuhan sedangkan Widhi adalah satu, yang tak lain adalah Allah.
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil secukupnya dari dawuh Kiai Maimun Zubair
Ini juga yang menjadi sebab mengapa Brantasena satu-satunya wayang yang bisa disujudkan, karena sujud merupakan lambang dari sholat. Yakni pengabdian Brantasena kepada Hyang Widhi, Hyang adalah Tuhan sedangkan Widhi adalah satu, yang tak lain adalah Allah.
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil secukupnya dari dawuh Kiai Maimun Zubair
Senin, 16 Januari 2017
Kiai Maimun Zubair dan Kitab Wali
Mengenai penyebaran Islam di Jawa, mungkin memanglah sangat mengherankan. Tanpa peperangan dan bagaimana para wali mengajarkan dengan kearifan dan pendekatan kultural tapi mampu merubah Islam menjadi mayoritas. Ada yang tak kalah unik yakni, mulai zaman Walisongo hanya terdapat kitab dan masjid-masjid wali tapi semuanya bisa lestari.
Di Sarang Rembang, terdapat satu satunya Masjid wali yang tepatnya di desa Belitung Sarang. Terdapat tujuh kitab yang terbilang kecil dalam masjid tersebut. Diajarkan yang jika sampai khatam semua bisa jadi kiai besar, yang tidak pernah dibacakan (ngaji) tidak bisa membaca (memahami).
Makam Kiai Abdullah Fattah Mangunsari Tulungagung |
Kiai Maimun Zubair pun merasakan hal tersebut, hingga suatu saat beliau sampai pergi ke Tulungagung Jawa Timur menanyakan perihal tersebut kepada cucu dari Kiai Abdullah Fattah Tulungagung.
" kenapa kitab ini terasa susah dikaji, apa sebabnya..? "
" iya Gus,, (sapaan kepada Mbah Moen) saya itu kitab yang pernah saya mengaji bisa membacanya, tapi yang belum pernah saya mengaji terasa susah, makanya jika saya mengajar tidak pernah sampai khatam. Karena dulu tidak mengaji sampai khatam. "
Jawab Cucu dari Kiai Fattah kepada Mbah Moen. Yang beliau sendiri memang mengajarkan kitab-kitab tinggalan Kiai Fattah, tapi juga selalu tidak sampai khatam.
Di Masjid Belitung tersebut, kitab tersebut dikaji sejak Walisongo sampai periode terakhir yakni Kiai Abdullah dan Innalillah, semua sudah hilang semua tak ada yg bisa mengkaji.
Ada kebiasaan dan pesan sebagian Kiai Jawa, "mengajarkan kitab itu harus kitab yang dulu pernah mengaji."
Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh KH Maimun Zubair
Senin, 09 Januari 2017
Guyonan Rokok Kiai Ma'ruf dan Kiai Abdul Karim
Ketiga Kyai Nusantara ini kemana-mana selalu runtang runtung bersama-sama, tetapi dalam urusan rokok, mereka sangat berbeda. Kyai Ma'ruf dikenal sebagai perokok berat, Kyai Abdul Karim tidak merokok sama sekali , sedang Kyai Abu Bakar sesekali terlihat merokok juga. Suatu saat, melihat Kyai Ma'ruf merokok tanpa henti, Kyai Abdul Karim mencoba menggoda : " Kang, iku pawonan opa lambe tho? (Mas, itu tungku api apa mulut?). Kyai Ma'ruf segera menyahuti candaan teman karibnya ini: " Yo iki kang, bedane antarane wedus (dalam riwayat lain "sapi") lan menungso, lek menungso yo ngrokok" (Ya ini mas bedanya antara kambing (sapi) dengan manusia, kalau manusia ya merokok). Sementar Kyai Abu Bakar hanya diam saja melihat kedua sahabatnya ini bercanda, sambil meneruskan bacaan sholawat yg menjadi kebiasannya.
Di lain kesempatan, Kyai Abdul Karim pernah bercanda : " Wong nok kadung nyekik udud, sok nek nang kuburan ora nemu udud, bakale ngemut dzakare dewe " ( Orang yang sudah kecanduan rokok, saat dikuburan nanti tidak menemukan rokok yang bisa dihisap, maka dia akan menghisap kemaluannya sendiri).
Namun unik juga, kedua menantu KH Abdul Karim, yaitu KH Marzuki Dahlan dan KH Mahrus Ali justru mengikuti jejak KH Ma'ruf Donglo menjadi NU GR (Garis Rokok).
Kendati beliau-beliau berbeda dalam urusan rokok, tetapi mereka sepakat dalam hal minum kopi.
Oleh : fb AN Ang-hab
www.facebook.com/story.php?story_fbid=219188318427545&id=100010091347639
Gus Karim Hasyim, Mondok Hanya 7 Hari
Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari menitipkan puteranya, Abdul Karim Hasyim yang masih kanak-kanak kepada Kiai Nawawi agar dapat belajar kepada kiai-kiai Kajen.
Baru tujuh hari tinggal di rumah Kiai Nawawi, Gus Karim pamit pulang meninggalkan pondok atau dalam pesantren lebih dikenal dengan istilah boyong.
“Ngaji saya sudah khatam… katanya sudah boleh pulang…”pamit Gus Karim kepada Kiai Nawawi.
Kiai Nawawi bingung, karena Ia belum mulai mengajar Gus Karim sama sekali dan sepengetahuannya Gus Karim juga belum ikut mengaji kepada kiai Kajen lainnya.
“Awakmu ngaji apa, Gus?” Kiai Nawawi bertanya.
“Jurumiyyah”.
“Yang mengajar siapa?”
“Tidak tahu… orang tua…”, Gus Karim menggambarkan guru yang mengajarnya.
Kiai Nawawi manggut-manggut, menyembunyikan rasa kagetnya. Gus Karim pun dilepas kembali ke Tebuireng.
Beberapa waktu kemudian, Kiai Hasyim tiba-tiba datang ke Kajen, membuat kelabakan semua orang. Kiai Nawawi-lah yang dituju.
“Kenapa anakku kau pulangkan, Kang?” Kiai Hasyim menggungat, “padahal dulu Thohir kau titipkan kepadaku juga kuterima…”
(Kiai Nawawi tak enak hati)
“Bukannya saya pulangkan, ‘Yai… tapi kayaknya Gus Karim itu sudah cukup ngajinya”.
“Lho. Cuma seminggu itu memangnya kau ajari apa?”
“Bukan saya yang ngajar, ‘Yai”.
“Lha siapa?”
“Mbah Mutamakkin…”(sebagaimana ciri yang diceritakan Gus Karim?)
Mbah Mutamakkin sendiri adalah pendiri Pesantren Kajen Pati yang padahal beliau sudah wafat sejak pertengahan abad 17. Sekarang makamnya berada di depan Perguruan Islam Mathaliul Falah, di desa Kajen Kecamatan Margoyoso Pati Jawa Tengah.
Oleh : fb Joko Bedhug Karimov
Dengan sedikit tambahan
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1828313784047396&id=100006063758499&comment_id=1828504327361675¬if_t=like¬if_id=1483832225096005&ref=m_notif
Baru tujuh hari tinggal di rumah Kiai Nawawi, Gus Karim pamit pulang meninggalkan pondok atau dalam pesantren lebih dikenal dengan istilah boyong.
“Ngaji saya sudah khatam… katanya sudah boleh pulang…”pamit Gus Karim kepada Kiai Nawawi.
Kiai Nawawi bingung, karena Ia belum mulai mengajar Gus Karim sama sekali dan sepengetahuannya Gus Karim juga belum ikut mengaji kepada kiai Kajen lainnya.
“Awakmu ngaji apa, Gus?” Kiai Nawawi bertanya.
“Jurumiyyah”.
“Yang mengajar siapa?”
“Tidak tahu… orang tua…”, Gus Karim menggambarkan guru yang mengajarnya.
Kiai Nawawi manggut-manggut, menyembunyikan rasa kagetnya. Gus Karim pun dilepas kembali ke Tebuireng.
Beberapa waktu kemudian, Kiai Hasyim tiba-tiba datang ke Kajen, membuat kelabakan semua orang. Kiai Nawawi-lah yang dituju.
“Kenapa anakku kau pulangkan, Kang?” Kiai Hasyim menggungat, “padahal dulu Thohir kau titipkan kepadaku juga kuterima…”
(Kiai Nawawi tak enak hati)
“Bukannya saya pulangkan, ‘Yai… tapi kayaknya Gus Karim itu sudah cukup ngajinya”.
“Lho. Cuma seminggu itu memangnya kau ajari apa?”
“Bukan saya yang ngajar, ‘Yai”.
“Lha siapa?”
“Mbah Mutamakkin…”(sebagaimana ciri yang diceritakan Gus Karim?)
Mbah Mutamakkin sendiri adalah pendiri Pesantren Kajen Pati yang padahal beliau sudah wafat sejak pertengahan abad 17. Sekarang makamnya berada di depan Perguruan Islam Mathaliul Falah, di desa Kajen Kecamatan Margoyoso Pati Jawa Tengah.
Oleh : fb Joko Bedhug Karimov
Dengan sedikit tambahan
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1828313784047396&id=100006063758499&comment_id=1828504327361675¬if_t=like¬if_id=1483832225096005&ref=m_notif
Minggu, 08 Januari 2017
Kiai Muhammadun, Pentingnya Sanad
KH. Muhammadun Pondowan Pati dalam pengajian tafsirnya ayat 81 surat Ali Imron berkata (harfiyyahnya) :
"Qoola Ba'dlul Afaadhil : Laulal Isnaad Laqoola Man Syaa' bimaa Syaa'
(Sebagian ulama berkata : jika bukan karena sanad, pasti siapa saja yang mau akan berkata dengan apa saja yang diinginkannya.)
Dadi tiyang nduwe ilmu kapan mboten nduwe sanad, geh niku sak uni-unine, sak kudune, sak enake. Dade nggeh wong nggabrul jengene, wong ngawul jengene. Akhire nggeh ajur. Mboten iso jujur nek ngoten. Lah umat Muhammad gadah khushusiyyah, nggeh niku sanad. Dadi nopo-nopo wonten sanade, 'anin Nabi 'an Jibril 'anillahi Ta'ala. Kapan mboten ngoten mboten sah.
(Jadi orang punya ilmu tetapi tidak ada sanad/jalur keilmuannya akan berkata sesukanya dan seenaknya, sehingga orang ngawur namanya dan tak bisa jujur yang justru malah mengantarkan pada kehancuran. Dan umat Muhammad mempunyai kekhususan yaitu sanad. Jadi apa apa ada sanadnya. Dari Nabi dari Jibril dari Allah Ta'ala. Jika tidak begitu tidak sah)
Lah niki sababe ketolake Ibnu Hazmin, Hafizhul Maghrib. Dadi Ibnu Hazmin iku Hafizhul Maghrib. Zaman niku mboten wonten tiyang apal ngelmu koyo Ibnu Hazmin. Nanging ditolak kaleh ngulomo sedanten, sebab mboten enten sanade. Nggeh niku imam pertama kedue Muhammad bin Abdul Wahhab, kepalane torekat wahabiyah. Imam kedua nggeh niku Ibnu Taymiyah Tsani. Ilaa Akhirihi lajeng. Terus sak niki nggeh ngoten carane. Mergo sirrul aabaa' fil Abnaa' (rahasia ayah ada pada putranya).
(Itulah yang menyebabkan Ibnu Hazmin yang meskipun Hafizhul Maghrib tapi ditolak oleh semua Ulama karena tak adanya sanad. Jadi zaman itu tidak ada orang yang hafal ilmu seperti Ibnu Hazmin, yaitu imam pertamanya Muhammad bin Abdul Wahab pendiri Thariqah wahhabiyah. Imam keduanya yaitu Ibnu Taimiyyah dan seterusnya.)
Lah niku sedanten kapan seng mboten dugi mriku nggeh mboten ngertos, dadi dianggep bener, wong qurane podo, haditse podo, tek sembiyang geh podo, podo limang wektune. Nanging batine seng mboten podo. Lah kapan lahir kaleh baten mboten podo, nggeh 'Aine munafek, 'Aine kafer zindiq. Lah niki nguwatiri.
(Semuanya jika belum mengerti/sampai maqam tidak akan tahu, dan menganggap semua benar karena Qur'an, Hadist serta sembahyangnya memang sama, tapi kebatinannya yang tidak sama. Jika lahir dan batin tak sama, mirip munafik kafir zindiq. Itu yang mengkhawatirkan.)
Oleh : admin
Diambil dari dawuh Yai Muhammadun berikut pada menit 8-9
m.youtube.com/watch?v=j1fYPSziEfk
"Qoola Ba'dlul Afaadhil : Laulal Isnaad Laqoola Man Syaa' bimaa Syaa'
(Sebagian ulama berkata : jika bukan karena sanad, pasti siapa saja yang mau akan berkata dengan apa saja yang diinginkannya.)
Dadi tiyang nduwe ilmu kapan mboten nduwe sanad, geh niku sak uni-unine, sak kudune, sak enake. Dade nggeh wong nggabrul jengene, wong ngawul jengene. Akhire nggeh ajur. Mboten iso jujur nek ngoten. Lah umat Muhammad gadah khushusiyyah, nggeh niku sanad. Dadi nopo-nopo wonten sanade, 'anin Nabi 'an Jibril 'anillahi Ta'ala. Kapan mboten ngoten mboten sah.
(Jadi orang punya ilmu tetapi tidak ada sanad/jalur keilmuannya akan berkata sesukanya dan seenaknya, sehingga orang ngawur namanya dan tak bisa jujur yang justru malah mengantarkan pada kehancuran. Dan umat Muhammad mempunyai kekhususan yaitu sanad. Jadi apa apa ada sanadnya. Dari Nabi dari Jibril dari Allah Ta'ala. Jika tidak begitu tidak sah)
Lah niki sababe ketolake Ibnu Hazmin, Hafizhul Maghrib. Dadi Ibnu Hazmin iku Hafizhul Maghrib. Zaman niku mboten wonten tiyang apal ngelmu koyo Ibnu Hazmin. Nanging ditolak kaleh ngulomo sedanten, sebab mboten enten sanade. Nggeh niku imam pertama kedue Muhammad bin Abdul Wahhab, kepalane torekat wahabiyah. Imam kedua nggeh niku Ibnu Taymiyah Tsani. Ilaa Akhirihi lajeng. Terus sak niki nggeh ngoten carane. Mergo sirrul aabaa' fil Abnaa' (rahasia ayah ada pada putranya).
(Itulah yang menyebabkan Ibnu Hazmin yang meskipun Hafizhul Maghrib tapi ditolak oleh semua Ulama karena tak adanya sanad. Jadi zaman itu tidak ada orang yang hafal ilmu seperti Ibnu Hazmin, yaitu imam pertamanya Muhammad bin Abdul Wahab pendiri Thariqah wahhabiyah. Imam keduanya yaitu Ibnu Taimiyyah dan seterusnya.)
Lah niku sedanten kapan seng mboten dugi mriku nggeh mboten ngertos, dadi dianggep bener, wong qurane podo, haditse podo, tek sembiyang geh podo, podo limang wektune. Nanging batine seng mboten podo. Lah kapan lahir kaleh baten mboten podo, nggeh 'Aine munafek, 'Aine kafer zindiq. Lah niki nguwatiri.
(Semuanya jika belum mengerti/sampai maqam tidak akan tahu, dan menganggap semua benar karena Qur'an, Hadist serta sembahyangnya memang sama, tapi kebatinannya yang tidak sama. Jika lahir dan batin tak sama, mirip munafik kafir zindiq. Itu yang mengkhawatirkan.)
Oleh : admin
Diambil dari dawuh Yai Muhammadun berikut pada menit 8-9
m.youtube.com/watch?v=j1fYPSziEfk
Sabtu, 07 Januari 2017
Kiai Hamid vs Ajax Amsterdam
Pada era sebelum merdeka, di Lasem ada tim sepakbola bernama "Rodali". Konon, tim Rodali ini tim sepakbola terbaik dimasanya. Praktis setiap kali bertanding tim ini tak pernah kalah. Ya maklum, selain lihai mengocek bola, seluruh pemainnya pintar asmak dan sakti-sakti.
Saking tenarnya tim Rodali menjelang piala dunia 1938 di Perancis, sampai-sampai pabrik gula Trangkil mengundang klub Ajax Amsterdam datang ke Jawa untuk melawan langsung tim Rodali.
Kita mungkin tak menyangka, ternyata dalam susunan pemain tim Rodali ini ada Mbah Hamid Pasuruan, yang kemudian adalah seorang wali yang sangat terkenal. Pada waktu itu beliau masih muda dan bernama Abdul Mu'thi. Di antara pemain lainnya, ada Mbah Abdurrahim (adik Kiai Hamid), di bawah mistar ada mbah War (imam masjid Lasem).
Namun sayangnya, pada pertandingan itu tim Rodali kalah sama Ajax Amsterdam. Ada yang nyeletuk, ternyata asmak dan kesaktian mbah Hamid dkk masih kalah cepat sama larinya pemain Ajax.
Yah, walaupun kalah pemain-pemain Rodali yang bermain melawan Ajax pada waktu, di kemudian hari menjadi kiai-kiai yg begitu disegani.
Oleh : fp Pesanterpedia
Dengan sidikit ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1764548037101844&id=1609287705961212
Saking tenarnya tim Rodali menjelang piala dunia 1938 di Perancis, sampai-sampai pabrik gula Trangkil mengundang klub Ajax Amsterdam datang ke Jawa untuk melawan langsung tim Rodali.
Kita mungkin tak menyangka, ternyata dalam susunan pemain tim Rodali ini ada Mbah Hamid Pasuruan, yang kemudian adalah seorang wali yang sangat terkenal. Pada waktu itu beliau masih muda dan bernama Abdul Mu'thi. Di antara pemain lainnya, ada Mbah Abdurrahim (adik Kiai Hamid), di bawah mistar ada mbah War (imam masjid Lasem).
Namun sayangnya, pada pertandingan itu tim Rodali kalah sama Ajax Amsterdam. Ada yang nyeletuk, ternyata asmak dan kesaktian mbah Hamid dkk masih kalah cepat sama larinya pemain Ajax.
Yah, walaupun kalah pemain-pemain Rodali yang bermain melawan Ajax pada waktu, di kemudian hari menjadi kiai-kiai yg begitu disegani.
Oleh : fp Pesanterpedia
Dengan sidikit ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1764548037101844&id=1609287705961212
Kamis, 05 Januari 2017
Kiai Umar, Ini Pertemuan Terakhir
Mbah Umar dengan Habib Luthfi |
Meninggal Dunia dalam Usia 114 Tahun.
Santri Langsung Syaikh Mahfudz Atturmusi dan Mbah Dimyatu Termas serta santri Pendiri NU KH. Hasyim Asyari Jombang. Salah satu ulama sepuh sekaligus Mustaayar PCNU Pacitan KH Umar Syahid menghembuskan nafas terakhir, Rabu (4/1/2017) malam, sekitar pukul 22.55 wib di RSUD Pacitan.
Semasa hidupnya, di Pacitan tidak ada yang tak kenal dengan Mbah Umar Tumbu. Dia merupakan ulama sepuh yang menjadi teladan bagi warga nahdliyin, khususnya di Pacitan. Mbah Umar merupakan pengasuh Pesantren Nur Rohman, Jajar, Donorojo.
Beliau adalah figur Kiai yang dermawan dan lemah lembut. Pada masa remajanya, Mbah Umar Tumbu nyantri di Pesantren Termas Pacitan di bawah asuhan KH Dimyathi Abdullah. Dikenal dengan sebutan Mbah Umar Tumbu karena ketika remaja berprofesi sebagai penjual tumbu (wadah dari anyaman bambu) dengan berjalan kaki sembari berdakwah kepada masyarakat.
Almarhum sangat dekat sekali dg maulana abuya Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan. Kira-kira satu tahun yang lalu, Kiai Umar Syahid meminta kepada Maulana Habib Luthfi bin Yahya untuk datang ke pesantrennya di Pacitan guna meresmikan masjid yang dibangun dengan dana sendiri. Disela-sela kunjungannya, almarhum Kiai Umar Syahid sempat mengatakan kepada Maulana Habib Luthfi bahwa pertemuannya kali itu dengan beliau adalah pertemuan yang terakhir. Ternyata benar, belum genap satu tahun dari pertemuan tersebut Kiai Umar Sahid meninggal dunia.
Oleh : fb Muhdor Ahmad
Dari berbagai sumber dengan ubahan kalimat.
www.facebook.com/story.php?story_fbid=438188076513227&id=100009661149825
Rabu, 04 Januari 2017
Kiai Umar Syahid, Pengabdian Tanpa Batas untuk NU dan Indonesia
Kiai Umar Syahid waktu mudanya hidup sebagai kiai kelana, dengan jualan gerabah dan tumbu, hasil jualannya digunakan untuk membangun musolla dan masjid di sekitar Pacitan, Ponorogo dan Madiun. Karena itu beliau dikenal sebagai Mbah Tumbu.
Saat peristiwa pemberontakan PKI 1948 di Madiun, beliau sedang jualan di sana sehingga menyaksikan langsung pembantaian para ulama, dan selamat karena dikira orang biasa. Dan oleh sebab itu juga beliau menjadi informasi para Kiai dalam menghadapi PKI, karena bisa berjalan ke mana saja tanpa dicurigai PKI.
Walaupun hidup dalam kesusahan, Ulama Waliyullah ini selalu memikirkan NU dan bangsa. Karena itu saat terjadi demo di jakarta beliau mengajak keluarganya bermujahadah, karena dalam demo itu terdapat kelompok yg ingin melakukan makar. Beliau ulama waskito (makrifat) walau tidak pernah lihat TV atau pakai HP, tapi tahu persis anatomi konflik politik nasional yg sedang terjadi.
Ketika fisiknya masih kuat, beliau keliling Jawa untuk menyiarkan Islam ala NU, dengan modal jualan Tumbu. Dan saat tidak lagi mampu berjalan bukan berarti pengabdiannya selesai. Sebaliknya beliau memberi contoh yang seolah mampu menyindir kita yg masih sehat. Beliau rela meninggalkan pesantrennya kemudian mendirikan pendopo NU diatas lahan 1900meter, di sebuah desa di puncak bukit di Pacitan Selatan. Disebelah pendopo itu didirikan menara NU setinggi 17meter, yg dari dasar hingga puncaknya tertera logo NU serta tak lupa bendera Merah Putih.
Bagi orang lain akan menganggap ini perbuatan sia-sia, mengerjakan sesuatu yg tak jelas manfaatnya karena di pedalaman yang jarang dilihat dan didatangi orang. Tapi beliau sedang membuat mercusuar untuk memberi kabar pada dunia Bahwa NU masih ada, walaupun sekian lama selalu ditindas. Menara itu jg sebagai mercusuar, agar kapal yg lewat, yaitu agama lain dan ideologi lain tidak menabrak bumi NU dan bumi Nusantara ini. Menara itu dirancang sendiri, dan kemudian diserahkan pada PCNU Pacitan.
Di hari tuanya, Sang waliyullah itu rela hidup sendiri di tempat sepi sebagai Banser atau satpam penjaga mercusuar NU itu. Persis seperti Kh Muchid Muzadi yang walaupun sudah sangat udzur, tetapi kalau diajak bicara NU dan NKRI langsung perkasa kembali, saking semangat dan cintanya pada NU dan Negara. Sosok Ulama yang pengabdiannya tanpa batas untuk NU dan Indonesia.
Kini, dalam usia 114 tahun pada Rabu 7 Januari 2017 Kiai Umar Syahid yang merupakan murid serta teman seperguruan Hadhrotus Syaikh Kh Hasyim Asy'ari telah berpulang. Ada pesan beliau sebelum meninggal yakni, JAGA PERSATUAN, JAGA KEIMANAN KELUARAGA, JAGA NAMA BAIK NU, agar NU kembalai menjadi panutan bangsa.
Oleh : fb Guz UD Al Jawi
Dari Abdul Mun'im DZ, dengan ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1271936179568460&id=100002562712398
Saat peristiwa pemberontakan PKI 1948 di Madiun, beliau sedang jualan di sana sehingga menyaksikan langsung pembantaian para ulama, dan selamat karena dikira orang biasa. Dan oleh sebab itu juga beliau menjadi informasi para Kiai dalam menghadapi PKI, karena bisa berjalan ke mana saja tanpa dicurigai PKI.
Walaupun hidup dalam kesusahan, Ulama Waliyullah ini selalu memikirkan NU dan bangsa. Karena itu saat terjadi demo di jakarta beliau mengajak keluarganya bermujahadah, karena dalam demo itu terdapat kelompok yg ingin melakukan makar. Beliau ulama waskito (makrifat) walau tidak pernah lihat TV atau pakai HP, tapi tahu persis anatomi konflik politik nasional yg sedang terjadi.
Ketika fisiknya masih kuat, beliau keliling Jawa untuk menyiarkan Islam ala NU, dengan modal jualan Tumbu. Dan saat tidak lagi mampu berjalan bukan berarti pengabdiannya selesai. Sebaliknya beliau memberi contoh yang seolah mampu menyindir kita yg masih sehat. Beliau rela meninggalkan pesantrennya kemudian mendirikan pendopo NU diatas lahan 1900meter, di sebuah desa di puncak bukit di Pacitan Selatan. Disebelah pendopo itu didirikan menara NU setinggi 17meter, yg dari dasar hingga puncaknya tertera logo NU serta tak lupa bendera Merah Putih.
Bagi orang lain akan menganggap ini perbuatan sia-sia, mengerjakan sesuatu yg tak jelas manfaatnya karena di pedalaman yang jarang dilihat dan didatangi orang. Tapi beliau sedang membuat mercusuar untuk memberi kabar pada dunia Bahwa NU masih ada, walaupun sekian lama selalu ditindas. Menara itu jg sebagai mercusuar, agar kapal yg lewat, yaitu agama lain dan ideologi lain tidak menabrak bumi NU dan bumi Nusantara ini. Menara itu dirancang sendiri, dan kemudian diserahkan pada PCNU Pacitan.
Di hari tuanya, Sang waliyullah itu rela hidup sendiri di tempat sepi sebagai Banser atau satpam penjaga mercusuar NU itu. Persis seperti Kh Muchid Muzadi yang walaupun sudah sangat udzur, tetapi kalau diajak bicara NU dan NKRI langsung perkasa kembali, saking semangat dan cintanya pada NU dan Negara. Sosok Ulama yang pengabdiannya tanpa batas untuk NU dan Indonesia.
Kini, dalam usia 114 tahun pada Rabu 7 Januari 2017 Kiai Umar Syahid yang merupakan murid serta teman seperguruan Hadhrotus Syaikh Kh Hasyim Asy'ari telah berpulang. Ada pesan beliau sebelum meninggal yakni, JAGA PERSATUAN, JAGA KEIMANAN KELUARAGA, JAGA NAMA BAIK NU, agar NU kembalai menjadi panutan bangsa.
Oleh : fb Guz UD Al Jawi
Dari Abdul Mun'im DZ, dengan ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1271936179568460&id=100002562712398
Langganan:
Postingan (Atom)