Kamis, 29 Desember 2016

Kiai Cholil Bisri, Nyantri ke Makkah Tanpa Bekal

Kiai Cholil Bisri (kiri) bersama adiknya Kiai Mustofa Bisri
    Ketika nyantri di Makkah, Kiai Cholil tanpa diberi uang sepeserpun oleh Kiai Bisri abahnya. Pergi haji dan tak pulang langsung nyantri di Makkah, sedangkan Kiai Bisri abahnya pulang.

    Susah memang, menimba ilmu di luar negeri tanpa bekal apapun. Hanya bermodal keyakinan dan keinginan yg kuat.

    Sekedar mengganjal perut, kadang Kiai Cholil harus terpaksa menyiasati duduk di depan masjid. Disekelilingnya diberi kurma busuk sehingga banyak lalat yg menginggapi. Banyak yang tak tega sehingga ada yang berkenan memberinya recehan uwang. Tak jarang juga Kiai Kholil memakan buangan sisa semangka yg tak laku terjual oleh pedagang, di ambil buat main bola, sampai jauh dimakan.
Kiai Bisri  Mustofa
    Mendengar kabar tersebut, Kiai Bisri abahnya tak tega dan bergegas menyusul dan mengajak pulang Kiai Cholil. Dan benar, didapatinya Kiai Cholil hanya mempunyai satu pakaian yang sudah sangat kusut. Bahkan pasport pun sudah tak ada dan terjual.

    Tak tau lagi harus bagaimana bisa lolos cek (imigrasi), bermodal keyakinan keduanya nekat pulang yang waktu itu masih melalui kapal laut. Kiai Bisri tak berhenti-berhenti membaca wirid salah satu Asmaul Husna, dengan harapan Kiai Cholil yang tanpa pasport bisa lolos. Dengan bergaya seperti tukang buruh angkat barang yang begitu kerepotan keberatan, akhirnya Kiai Cholil berhasil naik kapal tanpa ada yang cek.

Oleh : diambil dari cerita (dawuh) Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus)

Selasa, 27 Desember 2016

Mbah Wahab dan Mbah Bisri, Berbeda dan Bersatu Karena Agama


    Mbah Bisri Syansuri memang dikenal sebagai orang yang teguh memegang ilmu fiqih yang cenderung berat karena kehati hatian. Lain halnya dengan Mbah Wahab Chasbullah yg memang dikenal sebagai Kiai diplomatis yang cenderung kalem, tapi bukan berarti beliau tidak ahli dan keluar dari fiqih.

    Tak asing lagi khususnya bagi warga Nahdliyyin, bahwa beliau adalah para sesepuh dibalik awal awal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Mbah Bisri adalah adik ipar dari Mbah Wahab, sekaligus teman seperjuangan waktu belajar di Makkah, tapi keduanya memang sering berbeda pendapat dalam menentukan suatu perkara.

    Pernah dalam suatu majlis musyawarah, dimana untuk memecahkan berbagai macam masalah keagamaan yang juga dihadiri oleh banyak Ulama. Ada suatu masalah yang sangat alot untuk menemukan titik temu permasalahan. Termasuk Mbah Wahab dan Mbah Bisri yg sama-sama saling ngotot adu argumen yang memang sama-sama membawa landasan yang kuat.

    Praktis semua Ulama lain hanya bisa tutup kitab menyaksikan beliau berdua yg memang tergolong sepuh dan saling mumpuni, Mbah Wahab menjabat Rais 'Am NU sementara Mbah Bisri sebagai wakilnya. Keduanya sampai saling menggebrak meja, yang seketika membuat suasana berubah jadi hening dan semakin tegang.


    Di tengah ketegangan, bedug pertanda waktu sholat pun berbunyi. Spontan keduanya dengan santai dawuh, "sudah dulu, sudah,,, ayo sholat dulu"

     Keduanya langsung pergi ke sumur tempat wudlu di ikuti Kiai lain, Mbah Wahab mengambilkan air (nimbo jawa) untuk wudlu Mbah Bisri, begitu juga sebaliknya. Keadaan langsung berubah total, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak ada sedikitpun dari raut wajah keduanya yang menggambarkan kesengitan karena perbedaan yang baru saja terjadi. 

    Setibanya iqamah dan untuk selanjutnya sholat berjamaah, sudah menjadi tradisi Kiai NU, keduanya saling dorong untuk lempar menjadi imam sholat.
Mbah Wahab menunjuk Mbah Bisri, "anda yg lebih tua jadi imam sholat"
Mbah Bisri dengan santai menimpal Mbah Wahab "lhooo,, gak bisa, yang punya Masjid situ kok"


Minggu, 11 Desember 2016

Benarkah Kiai Hamid ke Baghdad


    Kisah tentang Kiai Hamid ini diceritakan oleh Kiai Masyhudi Sanan Kulon Blitar, sekitar tahun 2007-2008 sebelum beliau wafat. Beliau adalah santri Kiai Baidlowi Lasem yang merupakan paman Kiai Hamid.

    Pada awal tahun 80-an saat Kiai Masyhudi pergi haji dan ketika sedang sholat Jumat, beliau bersebelahan dengan Syekh Hassan dari Baghdad. Syekh Hassan pun berkenalan dan bertanya "dari mana anda.?"
"Dari Jawa Timur",

"apakah anda mengenal Kiai Hamid Pasuruhan?",tanya Syekh Hassan

"tentu, beliau adalah guru kami yang terkenal karena kealimannya", jawab Kiai Masyhudi yg dengan penasaran berbalik bertanya.
"darimana Syekh Hassan bisa mengenal Kiai Hamid? "

Lalu Syekh Hassan bercerita bahwa, jika setiap Haul Syekh Abdul Qodir Al-Jailani Kiai Hamid pasti hadir dan menginap di rumah Syekh Hassan SETIAP TAHUN.

    Sebelum berpisah, Syekh Hassan menitipkan salam untuk disampaikan kepada Kiai Hamid.

Kiai Hamid bersama Sayyid Muhammad 

    Selang beberapa hari sepulang haji, Kiai Masyhudi sowan kepada Kiai Hamid. Baru memasuki halaman ndalem, Kiai Hamid sepertinya sudah menunggu dan langsung memanggil Kiai Masyhudi. Setelah bersalaman sungkem, Kiai Hamid langsung berbisik,
"Nak Masyhudi, jangan sampai bilang siapa-siapa ya, jika pernah bertemu Syakh Hassan. Salamnya sudah saya terima, 'alaika wa 'alihis salam. Beneran ya, jangan bilang siapa-siapa". Kiai Masyhudi hanya bisa keheranan, karena belum sempat menyampaikan semua yg terjadi.

    Tentang perihal kepergian Kiai Hamid ke Baghdad ini, pernah ditanyakan kepada Kiai Idris Hamid, putera Kiai Hamid. Beliau menegaskan bahwa Kiai Hamid tak pernah ke luar negeri kecuali ke Makkah untuk berhaji. Jika pun ternyata iya, itupun tidak setiap tahun.

Oleh : fb Mas Yazid Tom's
Dengan pengubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10211599500040661&id=1160517859

Sabtu, 10 Desember 2016

Sufistik Gus Miek


Gus Miek atau KH HAMIM THOHARI adalah putra KH.Jazuli Ustman, pendiri pesantren Al Falah, Ploso, Kediri. Seorang pencetus lahirnya MAJELIS SEMA'AN AL QUR'AN DAN DZIKRUL GHOFILIN yang diyakini banyak orang sebagai seorang WALI.

Wali Malamatiyyah, itulah yg sering dinisbatkan pada Gus Miek. Yakni wali yang menyembunyikan kewaliannya, dengan tampil buruk di mata manusia, buruk menurut standar dzahir. Dengan dipersepsikan buruk dan nista, lalu dikucilkan/diabaikan, sehingga sang wali jadi bisa fokus pada kemesraannya dengan Gusti Allah. Dengan kata lain, mono-loyalitas wali malamatiyyah kepada cintanya ke Allah-lah yang membuatnya tak peduli dengan ukuran-ukuran manusia.


Gus Miek adalah sosok yang sangat dihormati oleh tokoh sekaliber Mbah Hamid Pasuruan dan KH Achmad Siddiq, dan juga Gus Dur. Kok bisa?

Salah satu penjelasan tentang kehidupan ganda Gus Miek adalah bahwa itu sejatinya bukan kehidupan ganda. Gus Miek sejak awal mengasuh majelis "sema'an Al Qur'an dan dzikrul ghafilin" mengingatkan mereka yang lupa pada Allah. Al-Ghafilin, manusia-manusia lupa, yang juga mencakup mereka yang di dunia hitam bahkan non muslim.

Itulah Gus Miek 'njegur' (menceburkan diri) ke situ. Njegur artinya harus menerima resiko gupak (terkena belepotannya). Tapi Gus Miek diyakini hanya gupak secara lahir, tidak batinnya. Dengan cara begitu Gus Miek menyapa kaum dunia hitam, tidak dengan cara menghujat atau merazia mereka, tapi dengan pendekatan dari dalam. Meng-uwongke (memanusiakan) mereka.

Tetapi, njegur tanpa ikut hanyut hanya bisa dilakukan sufi dengan maqam spiritualitas tinggi. Karena itu Gus Miek dihormati. Uniknya, tak semua orang yang punya perilaku-perilaku nyleneh adalah wali.
Bisa saja itu orang gak bener. Para sufi mengajarkan agar kita tak gampang percaya dengan penampilan religius seseorang, tapi juga tak gampang tak percaya.

Yang dilakukan Gus Miek adalah membunyikan genta harapan kepada mereka yang putus asa, menyapa mereka yang lemah, yang tersisih karena diangap pendosa.

Doktrin teologi Aswaja tentang "anugerah Allah sebagai penentu keselamatan". Hal ini berkait erat dengan keyakinan tentang pentingnya peran syafaat Nabi. Di hadapan Allah, kita tak berhak mengklaim apa-apa. Semua prerogatif-Nya. Tapi semoga syafaat Nabi bisa membantu kita.

Keyakinan Aswaja semacam itulah yang melatari kenapa Gus Miek, juga Gus Dur, tak gampang menghakimi manusia, siapapun dia. Kalau kita sendiri saja tak pernah bisa memastikan nasib kita di akhirat, bagaimana kita bisa dengan jumawa yakin akan nasib orang lain?

Dari doktrin Aswaja itulah muncul sikap Gus Miek dan Gus Dur yang melihat manusia sebagai manusia.
" TIDAK DENGAN HUJATAN, TAPI DENGAN GENTA HARAPAN "

Dikutip dari beberapa tulisan GUS DUR
.إن الله يجمعنا و اياهم ويهدينا بهدايتهم ويحمينا بحمايتهم ويمدنا بمددهم ويعيد علينا من بركاتهم و اسرار هم و انوارهم وعلومهم فى الدارين أمين ٤٤٤٤x لهم الفاتحة...
 Lahum Al Fatihah..

Oleh : fb Ragyl Wujdy
Dengan pengubahan dan ringkasan
www.facebook.com/story.php?story_fbid=680255262142815&id=100004750422473

Kamis, 08 Desember 2016

Dibalik Kunjungan Gus Dur ke Israel


    Saat Gus Dur mengumumkan akan bekerjasama dengan Israel gaduh di dalam negeri luar biasa. Sebagaimana di bandara Halim ketika akan melakukan lawatan ke luar negeri. Para jurnalis dan yg ikut rombongan Gus Dur pun bingung.

    Tak hanya dalam negeri, ketika rombongan sampai di Kuwait disambut raja, dan ditegur:"Gus mengapa sama Israel? kita ini kan saudara?"
Gus Dur menjawab :"Indonesia itu krisis karena ulah Soros, tapi apa yang anda lakukan membantu kami, yang katanya saudara?" mendapat jawaban itu,raja Kuwait kembali bertanya "apa yang dibutuhkan Gus? kami, Kuwait siap bantu".

Dan akhirnya dari pertemuan tersebut didapatkan kerjasama dengan Kuwait. Demikian pula dilakukan hal yang sama saat di Yordania, kerjasama akhirnya juga didapat.

Nah, setelah kunjungan ke Israel dan sesampainya di AS disambut Bill Clinton, dan menanyakan "sukses kerjasama dengan Israel". Gus Dur menjawab; "eits, nanti dulu."
"mengapa?" tanya Clinton. "saya belum tentu mau, tapi saya ajukan satu hal, hentikan bantuanmu pada GAM dan RMS". mendengar itu Clinton," Ok, Ok".
DEAL besar, meski akhirnya juga gak jadi kerjasama dengan israel.

nb: sumber kisah dari B. Semedi wartawan senior yg pernah tugas di istana negara.

untuk Gus Dur al fatihah.

Oleh : fb Sururi Arumbani
Dengan sedikit ubahan kata
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10208597027304586&id=1276512258

Sabtu, 03 Desember 2016

Ketika KH Ali Maksum Dipukul Linggis


Suatu ketika, KH Ali Maksum (Allah yarham), pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta tengah menyampaikan ceramah pada sebuah acara peringatan haul.

Di tengah ia ceramah, tiba-tiba muncul orang yang membawa sesuatu yang dibungkus kain surban berwarna putih, naik ke atas panggung. Secara cepat pula, orang tersebut memukulkan benda yang ternyata linggis itu ke Mbah Ali dengan membabi buta. Kurang jelas, apa motif orang tersebut sehingga berani memukul tokoh yang dihormati tersebut, di depan publik.

Yang terjadi setelah peristiwa pukulan linggis tadi, membuat Mbah Ali jatuh tersungkur dan mengalami luka yang parah. Bahkan, Ketika itu, kiai yang pernah menjadi Rais ‘Aam PBNU itu mesti opname hampir dua bulan karena luka parah.

Namun, justru di sinilah letak kekuatan Simbah Kiai Ali, usai menerima serangan pukulan linggis. Ketika dirawat di rumah sakit, salah satu santrinya yang kala itu ikut menunggu, KH Abdul Karim, masih ingat pesan yang disampaikan oleh Kiai Ali.

“Beliau berkata : “kabeh anak-anak ku lan santriku ora keno dendam lan ora keno anyel (semua anakku dan para santriku, tidak boleh dendam dan benci),” kenang kiai yang akrab disapa Gus Karim itu, menirukan ucapan dari sang guru.


Kekuatan yang diperlihatkan KH Ali Maksum, bukanlah kekuatan kebal menerima pukulan linggis, melainkan kekuatan meredam amarah dan kebencian kepada sang pelaku. Kekuatan memaafkan inilah yang lebih "ampuh", daripada sekedar kekuatan fisik.

Teladan sikap memaafkan KH Ali Maksum ini pula, barangkali yang kemudian ikut mengalir dan mengilhami kepada para santrinya, yang termasuk di antaranya yakni KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

Oleh : fb Rifqi Amany Elmoe
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10210153196479621&id=1029859411

Selasa, 29 November 2016

Gus Dur, Penakluk Lawan dengan Kasih Sayang


    Praktek aji Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti (keperkasaan angkara lenyap dengan kasih sayang) ala Gus Dur dan Kyai Ahmad Siddiq. Pak Harto, suatu ketika akan mencalonkan Beny Murdani sebagai wakil presiden. Yg tak lain seorang yg diduga sebagai otak pembantaian umat Islam di Tanjung Priok tahun 80'an. Gus Dur segera mengambil langkah mendekati Pak Beny yang sebenarnya seorang Nasrani untuk mengajaknya safari keliling di kantong-kantong NU, dan memperkenalkannya sebagai calon presiden, tidak sekedar wakil seperti yang dikehendaki Pak Harto. Langkah ini merangkul Pak Beny, dan dia merasa diorangkan, merasa diakui dan merasa mendapat dukungan. Tapi resikonya, Gus Dur dimusuhi, baik oleh Pak Harto dan warga NU. Bagaimana mungkin Gus Dur mencalonkan Pak Beny sebagai Presiden? Bagi Pak Harto ini sebuah perlawanan. Lha wong Gus Dur ya santai saja menghadapi serangan-serangan itu.

    Saat di pesantren Muayyad, Kyai Ahmad Siddiq diminta melanjutkan apa yang sudah ditempuh Gus Dur, dan Kyai Ahmad Siddiq secara terang-terangan menyampaikan pesan kepada Pak Beny,”Pak Beny, Anda tahu tidak, dalam beberapa bulan terakhir ini Gus Dur dibenci dan dicaci oleh hampir semua umat Islam di Indonesia yang selama ini menghormatinya. Anda tahu apa sebabnya?”

“Saya tidak tahu, Pak Kyai?” jawab Pak Beny.

“Penyebabnya adalah Anda, Pak Beny. Pencalonan Anda sebagai wakil dan presiden telah mengundang kemarahan umat Islam. Itu artinya bangsa Indonesia tidak mau dipimpin oleh anda. Maka, demi kebaikan bangsa ini, kami menyarankan Anda mundur dari pencalonan baik sebagai wakil maupun presiden!”


    Tak lama setelah itu melalui media massa LB Moerdani menyatakan mundur dari pencalonannya. Umat Islam di negeri ini menjadi lega dan suhu politik kembali normal. Apakah Pak Beny benci kepada para kyai? Oh TIDAK..!!

untuk Gus Dur, Kyai Ahmad Siddiq ---- Al Fatihah

Oleh : fb Sururu Arumbani
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10208523567308132&id=1276512258
Dengan sedikit tambahan dan ubahan
www.facebook.com/story.php?story_fbid=733876710101377&id=100004371630091&notif_t=feed_comment_reply&notif_id=1480435593751508&ref=m_notif

Jumat, 25 November 2016

Dibalik Kopyah Hitam dan Baju Yai Marzuki Lirboyo


    Mbah Yai Marzuqi Dahlan Lirboyo, adalah sosok yang polos dan sangat wirai. Sering beliau terlihat hanya memakai kaos oblong compang camping atau bahkan terkadang malah bertelanjang dada bukan karena gerah atau panasnya udara, tetapi karena baju beliau satu-satunya sedang dicuci.

    Ada lagi yg mungkin menggambarkan bagaimana sangat tawadhu'nya beliau. Yakni beliau punya pendirian, bahwa tidak pantas seseorang yang belum berhaji memakai kopyah haji. Sehingga setiap ada tamu memakai kopyah haji pasti beliau panggil dengan pak haji. Akhirnya pondok Lirboyo pun akhirnya membuat aturan bagi santrinya, untuk tidak memakai kopyah haji bagi yang belum berhaji.

    Kebetulan beliau berhaji ketika sudah sepuh, itupun mbah Marzuqi memakai kopyah haji, bersorban dan berjubah hanya ketika berjamaah. Sedangkan untuk menghadiri undangan atau lainnya beliau tetap memakai kopyah hitamnya.


Oleh : fb Mbah Bram
Dengan sedikit tambahan dan ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10208491234066651&id=1481401194

Jumat, 11 November 2016

Akhlak Cicit Rasulullah


Beberapa waktu setelah tragedi Karbala, Yazid bin Muawiyah memerintahkan eksekusi terhadap beberapa orang jenderal sebab suatu masalah. Salah satunya adalah lelaki yang juga terlibat dalam pembantaian di Karbala.

Karena merasa terancam, lelaki itu melarikan diri ke Madinah. Di sana, ia menyembunyikan identitasnya dan tinggal di kediaman Imam Ali Zainal Abidin bin Husein, cicit Rasulullah yang selamat dari pembantaian Karbala. Di rumah sosok yang dikenal sebagai 'as-Sajjad' (orang yang banyak bersujud) ini, lelaki itu betul-betul dijamu dengan baik.

Ia disambut dengan sangat ramah dan disuguhi jamuan yang layak dalam tiga hari. Setelah tiga hari, lelaki pembantai dalam tragedi Karbala itu pamit pergi. As-Sajjad memenuhi kantong kuda lelaki itu dengan berbagai macam bekal, air, dan makanan.

Lelaki itu sudah duduk di atas pelana kidanya, namun ia tak kuasa beranjak. Ia termenung atas kebaikan sikap As-Sajjad. Ia merasa trenyuh karena sang tuan rumah tak mengenali siapa dia sebenarnya.

"Kenapa engkau tak beranjak?" tegur As-Sajjad. Lelaki itu diam sejenak, lalu ia menyahut,

"Apakah engkau tidak mengenaliku, Tuan?"

Giliran As-Sajjad yang diam sejenak, kemudian ia berkata,

"Aku mengenalimu sejak kejadian di Karbala."

Lelaki itu tercengang. Ia tergugu dan memberanikan diri bertanya,

"Kalau memang engkau sudah mengenaliku, mengapa kau masih mau menjamuku sedemikian ramah?"

As-Sajjad menjawab,

"Itu (pembantaian di Karbala) adalah akhlakmu. Sedangkan ini (keramahan) adalah akhlak kami. Itulah kalian, dan inilah kami."
_________
*Dikisahkan oleh Syaikh Muhammad Tahir Ul Qadri, Pakistan.
https://mobile.facebook.com/Tahirulqadri/?_rdr
Diterjemahkan oleh Santrijagad

Oleh : fb Rijal Mumazziq Z
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1125598164188485&id=100002149375608

Selasa, 08 November 2016

Jangan Ceritakan Sampai Aku Mati

KH. Chamim Djazuli (Gus Miek)

"Jangan ceritakan kejadian ini sampai aku mati", Dawuh mbah Yai Hayat Rois Syuriah PCNU Nganjuk tahun 80 an. Waktu pulang dari rapat besar NU di surabaya, ternyata mobil yg beliau kendarai bersama rombongan kehabisan bensin di tengah malam dan jauh dari pemukiman warga. "Waduh gimana ini yai?" Keluh salah satu anggota rombongan. Dengan santai beliau berkata, "Haa,,, sana cari air di kali,,,"

"Untuk apa?".

"Pokoknya cari saja,,,,".

"Injih yai,,,,".

Setelah mendapatkan air,,, beliau berkata, "Nohh masukkan ke tempat bensin,,,".

"Mbah yai???'.

"Masukkan sajalah,,,".

Setelah air sungai di masukkan, "Coba, stater mobilnya,,," kata beliau. Dan,,, Jrengggg,,,,, mobil langsung nyala.


Begitu pula Mbah Yai Chamim Jazuli, atau lebih dikenal dengan Gus Miek.

Setelah menghadiri semaan Mantab di daerah Nganjuk pd tahun 80 an juga. Beliau diantar oleh salah satu jamaahnya yg bernama yai Faqih dengan menggunakan sepeda motor. Tapi di tengah jalan bensinnya habis.

"Kamu itu,,,, sebenarnya Ikhlas ngga sih nganterin aku?" Seloroh gus Miek. Dan di jawab dengan Nyengir khas Santri Galau. "Yaa udah,,, ayo marung saja,, itu di depan ada warung. Lha malam2 gini cari bensin kemana?"

Setelah duduk di warung, "Pesen Teh hangat tiga pak,,," pinta beliau.

"Kok tiga Gus? Lha satunya untuk siapa??".

"Sudaaahhh minum saja tehmu,,,".

"Alhamdulillah,,, dah habis gus,,,".

"Satu yg utuh itu, bungkus saja. Ayo kita teruskan perjalanan,,,".

Sambil bawa bungkusan plastik teh hangat, yai Musyafa' clingak-clinguk di depan motornya. Lha gimana tidak? Motor gak bisa jalan buat apa?.

"Cepat masukkan teh hangatmu itu ke tanki motor,,,"

"Waduhhh,,, bisa protol nanti mesin motorku,,," batin yai Faqih.

"Heiii,,, kenapa diam? Cepat masukkan,,,".

"Njih Gus,,,"

"Sekarang stater,,,"

Dan,,,, mak Jreennggg juga,, keduanya lalu meneruskan perjalanan sampai ke ndalem Gus Miek. Alih2 mensilahkan masuk utk istirahat sebentar. Beliau malah dawuh, "Jangan di matikan mesinnya,,, langsung pulang sana. Keburu habis bengsin-bengsinannya,,,"

------
Kisah dari Mbah Yai Baghowi (Suriah NU Nganjuk) dan Kangmas Nabhan Ibnul Qayyim (Ponaan Yai Faqih.)
Lahuma, wa lijamiil ulama wassaalihin, Alfaatihah,,,

Oleh : fb Robert Azmi
www.facebook.com/story.php?story_fbid=228491600899764&id=100012167760823

Rabu, 02 November 2016

Kiai Hamid Dalam Mengajar


Ada satu kisah dari Waliyulloh Agung dari Pasuruan, Kiai Hamid, tentang bagaimana seharusnya seorang guru menghadapi murid yang tidak sesuai dengan harapannya.

Suatu hari di sekitar tahun 60-an, salah seorang santri beliau yang menjadi pimpinan GP Ansor Cabang Pasuruan nyaris putus asa dalam kaderisasi di ranting-ranting. Pasalnya, dari 100 lulusan pelatihan, paling hanya ada 3-5 orang kader saja yg betul-betul bisa diandalkan. Dalam kegalauannya ini, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid dahulu untuk konsultasi.

Saat dia sowan, sembari menunjuk pada pohon-pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah, Kiai Hamid berkata panjang lebar.

"Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu, baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa. Lho setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yg saya butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit. Lha itu sunnatulloh. Lha yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat."

Kalau inginnya mencetak orang 'alim, tidak bisa diharapkan bahwa semua murid di kelas itu bakal jadi 'alim semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan. Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 %, tapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain. (dari buku Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan)

Oleh : fb Ahmad Atho
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1506775566005822&id=100000201796519

Kamis, 27 Oktober 2016

Kepatuhan Kiai As'ad Terhadap Peraturan Negara


LIHATLAH DI BALIK YANG TERLIHAT

Sopir KH R As'ad Syamsul Arifin pernah di marahi karena menerobos lampu merah di perempatan jalan. Saat itu ba'da isya di salah satu jalan raya kota Semarang

Beliau marah "Toron kade' cong (turun dulu nak)"

Lantas si sopir (yakni KH. Drs. Musyirin) melambat dan turun.
Kyai As'ad langsung turun tanpa menunggu pintu di buka oleh sopir.

Kemudian beliau dawuh "Arapah be'na mak tak ambu je' bedhe lampu merah..? (Kenapa kamu koq tidak berhenti lha wong ada lampu merah? )"


Si sopir menjawab "Nyo'on saporah, abdina cangkolang Kyai, pekker abdina ka'dintoh jelen preppa'en seppeh (mohon maaf kiai hamba mohon maaf berani bicara. Kami pikir ini jalan kebetulan sepi)"

Kyai dawuh lebih keras suaranya ''Abbeeh..!! Be'na kodu ngarte ben mahame (Heh... kamu harus mengerti dan paham). Lampu lalu lintas ruwah Undang undang Negereh (lampu lalu lintas itu undang-undang negara). Aruwah para pemimpin rapat rajeh biayana (itu para pemimpin rapat besar biayanya).  Hormate, ajiih undang2 geruwa (hormati, hargai undang2 itu). Biaya se e angguy jiya obengah rakyat (biaya yabg dipakai -rapat- itu uang rakyat). Obengah oreng benyak (uangnya orang banyak). Bisa dusa Ka reng benyak be'na (bisa dosa kepada orang banyak). Biasa'agi ngabes lanjeng be'na (biasakan berpikir panjang). Jek gun karo se paddeng..!! (jangan hanya melihat yang kelihatan saja! )"

Si sopir menjawab haru "Enggih Kyai.. Abdina jenjih tak ngolangna poleh bingkeng areh (iya kiai, hamba berjanji tidak akan mengulangi lagi di lain hari)"

Oleh : fp islamuna.info Googlenya Aswaja
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1850418651855853&substory_index=0&id=1433990446832011

Selasa, 25 Oktober 2016

Habib Umar Muthohar Bercerita Karomah Kiai Hamid Pasuruhan

Kiai Hamid Pasuruhan

Dua Tahun lalu.

Setelah turun dari panggung pengajian. Seperti biasa, Beliau Habib Umar AlMuthahhar “Ngajak” Cangkruk-an sambil kebal-kebul dengan rokok beliau. Beliau menceritakan kisah2 perjalanan spiritual beliau dengan Gurunya al Mukarram Habib Ja’far. Banyak kisah yg sangat sulit di terima nalar. Dan berikut kisah yg “agak” mendekati “biasa”.

Habib Ja'far

“Beliau habib Ja’far senang bepergian ke daerah-daerah pelosok. Disana biasanya beliau cuma menginap beberapa hari, mencari rumah yg kumuh untuk sekedar bermalam. Dan setelahnya, biasanya murid2 beliau berdatangan. Dengan membawa uang dan oleh2. Lalu uang hasil bisyarah itu langsung di berikan ke tuan rumah. Yang serta merta disambut dengan kebahagiaan luar biasa” Habib Umar memulai kisahnya.

“Suatu ketika, zaman dulu waktu mbah Yai Hamid Pasuruan masih hidup. Habib Ja’far melakukan kebiasaannya, yakni “jalan2” dan menginap di rumah yg jelek. Setelah di silahkan tuan rumah. Beliau mendapati salah satu penghuni rumah yg akan melahirkan. Dinanti satu jam, dua jam lebih ternyata sang bayi belum mau keluar juga. Akhirnya Bu Bidan memvonis: Kandungan ini harus di operasi!!. Seketika seluruh penghuni rumah sedih bukan kepalang. Duh gusti,, uang dari mana lagi. Lawong untuk makan saja susah. Lalu Habib ja’far berkata: ini daerah pasuruan kan? (Iya: jawab mereka), Kalau memang mbah Yai Hamid benar2 wali. Maka sebentar lagi dia pasti akan datang di daerah yg merupakan kekuasaannya!!.
Tidak butuh lama, tiba2 dari arah depan pintu ada orang yg mengucapkan salam: Assalamu’alaikum,,,,. Semuanya bergegas menyambut. Dan ternyata, Mbah Yai Hamid sudah ada di depan pintu sambil membawa bungkusan plastik berisi air putih!!!. Setelah bersalaman dan berangkulan dengan habib Ja’far. Beliau berkata: Ini Yek pesanan njenengan. Langsung diminumkan saja, Insya Allah sembuh. Lalu beliau langsung pamit.
Air putih itu langsung diminumkan ke ibu hamil itu. Dan seketika, dengan lancarnya sang jabang bayi keluar. Dan tidak jadi operasi,,,”.

“Beliau Habib Ja’far adalah almasyhur,,,” pungkas habib Umar diantara kisah2 yg tidak usah diceritakan. Karena mungkin dianggap tidak masuk akal.

Lahumul Faatihah,,,

Habib Umar Muthohar

Oleh : fb Robert Azmi
www.facebook.com/story.php?story_fbid=235969826818608&id=100012167760823

Minggu, 23 Oktober 2016

Tamrin Kiai Maksum dan Santri ( Kiai Imron Hamzah )


Mbah Maksum Lasem --KH. Maksum ayahanda Kiai Ali Maksum, salah satu sesepuh pendiri NU-- bila mulang, mengajar, santri-santri sering kali memberikan tamrinan (mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menguji kemauan dan perkembangan pengetahuan santri-santri). Suatu ketika, saat Mbah Maksum menamrin, pertanyaan beliau oleh beberapa santri yang ditanya, tidak dijawab dengan benar. maka beliau pun berkata, "Siapa yang bisa menjawab dengan benar?"

Sekejab suasana senyap tidak ada yang menjawab. "Siapa?" ulang beliau. Masih tidak ada yang cemuit, bicara menjawab. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara tidak terlalu keras, tapi jelas: "Maksum!"

"Maksum siapa?" tanya Mbah Maksum.

"Maksum Lasem!" jawab suara dari belakang.


"Siapa itu?" tanya Mbah Maksum sambil menahan senyum. Santri-santri tidak ada yang menjawab. Sibuk menahan tawa. Meskipun mereka tahu pemilik suara itu tidak lain adalah santri nakal kesayangan Mbah Maksum : Imron. Kelak dikenal sebagai KH. Imron Hamzah tokoh yang tidak pernah absen mewarnai perjuangan dan khidmah Nahdlatul Ulama untuk bangsa dan negara; aktif di NU sejak di pondok pesantren mulai dari Pengurus IPNU dan Ansor; terakhir menjabat Rais Syuriah PBNU priode 1999-2004 setelah sebelumnya memimpin NU Wilayah Jawa Timur sebagai Rais Syuriah.

Rahmat Allah untuk Mbah Maksum, Kiai Imron Hamzah, dan segenap kiai dan santri yang telah mendahului kita... Al-Fãtihah.

Selamat Hari Santri!

Oleh : fb Ahmad Mustofa Bisri
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10201272486649727&id=1698923818

Senin, 17 Oktober 2016

Gus Dur Di Mata Kiai Ali Shoddiq Tulungagung


    Kyai As'ad Syamsul 'Arifin gelisah mendengar Gus Dur menjadi kontroversi dari hari ke hari dengan gagasan-gagasannya yang berani dan perlawanannya terhadap Soeharto dengan manuver-manuver yang lebih berani lagi. Kyai As'ad lantas memanggil Kyai Muchith Muzadi, salah satu sahabat terdekat Gus Dur.

"Tolonglah kau nasehati 'Durrahman itu!" beliau manyambat, "janganlah terlalu sering bikin pusing orang begitu..."

Kyai Muchith meringis,

"Kok malah saya to, 'Yai? Saya bisa apa? Mestinya 'kan justru panjenengan yang bisa menasehati sebagai orang sepuh dan Ahlul Halli Wal 'Aqdi yang dulu menunjuk Gus Dur jadi ketua..."

Kyai As'ad terdiam sejurus, sebelum akhirnya mendesah,

"Saaya 'daak biisa.... Kalau ketemu 'Duurrahman yang 'kliatan samaa saaya kaakeeknya..." (Terong Gosong)

*****

Ada suatu cerita dari seseorang asal Nganjuk, dia pernah didatangi Putra Almarhum Mbah yai Ali Ngunut Tulungagung. Dia bertanya, “Gus,,, Mbah Yai Ali nek kaleh gusdur pandangane dospundi (bagaimana) ?”.

“Remen sanget, kulo kemutan wekdal pertama kali partai PKB muncul. Dalam kondisi gerah ndamel kursi roda, abah mekso nderek dateng lapangan ingkang hawanipun panas sanget, semangate kados ajeng perang. Sakderenge bidal beliau dawuh, “Putune mbah Hasyim ki sing maju,,, putune mbah Hasyim iki,,, (katanya dengan suara parau penuh kerinduan)””.

"(senang sekali,saya teringat ketika pertama kali partai PKB muncul, dalam keadaan sakit memakai kursi roda, abah memaksakan dirinya ikut ke lapangan yg hawanya sangat panas, semangatnya seperti mau perang. Sebelum pergi beliau berkata, "cucunya Mbah Hasyim itu yg maju ya ini,, ")"

Oleh : fb Robert Azmi
Dengan sedikit penyesuaian
www.facebook.com/story.php?story_fbid=216685958746995&id=100012167760823&ref=m_notif&notif_t=feed_comment_reply

Selasa, 11 Oktober 2016

Kiai Ustman Penyusun Istighatsahan


    Perlu diketahui bahwa ada sedikit kekeliruan dalam tulisan yang banyak beredar termasuk yang dimuat di NU Online, dikatakan penyusun Istighatsahan adalah Kiai Romli Tamim Rejoso Jombang. Berikut sedikit klarifikasi dari pihak keluarga ndalem Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman bin Nadi al-Ishaqy Jatipurwo Surabaya.

Suatu ketika Mbah Kiai Utsman al-Ishaqy berhalangan hadir di pengajian mingguannya Mbah Kiai Romli karena bebarengan dengan acara "Sewelasan" yang baru dirintisnya. Yang mana isi dari acara Sewelasan tersebut adalah Istighatsahan selepas shalat Maghrib berjamaah dan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani setelah berjamaah shalat Isya.

Ketidakhadiran Kiai Utsman pada pengajian mingguan tersebut membuat Kiai Romli bertanya kepada Kiai Utsman ketika bertemu beberapa hari kemudian. "Nang endi pengajian wingi koq gak kétok Man?" (Saat pengajian kemarin kamu di mana Man?)

"Pas kesarengan Sewelasan wonten langgar panggénan kulo, Kiai." (Pas bebarengan dengan acara Sewelasan di mushala tempat saya, Kiai), jawab Kiai Utsman.

"Opo waé Man séng diwoco?" (Apa saja yang dibaca, Man?), tanya Kiai Romli.

Jawab Kiai Utsman, "Istighatsah kaliyan (dan) Manaqib, Kiai."

"Wah nék ngono aku yo péngén Man, nang Njoso kéné yho diénékno, piyé Man?" (Wah kalau begitu aku ya ingin Man, di Rejoso sini juga diadakan, bagaimana Man?). Tanya Kiai Romli.

"Ndérék dhawuh, Kiai." Jawab Kiai Utsman manut.

"Iyo, tapi tetep awakmu engko séng mimpin Man." (Iya, tapi tetap kamu yang mimpin (acara tersebut) Man).

"Nggih ndérék dhawuh, Kiai."

"Terus saben dino opo nék nang Suroboyo acarané?" (Terus setiap hari apa acaranya di Surabaya?) tanya Kiai Romli kemudian.

"Setiap malem sewelas (malam 11), Kiai."

"Nék ngono nang kéné malem rolasé waé Man!?" (Kalau begitu di sini malam 12 saja Man!?)

"Nggih ndérék mawon, Kiai."

Pada bulan berikutnya Mbah Kiai Utsman memulai acara Manaqiban di Rejoso, keesokan hari setelah semalamnya acara Manaqiban di mushala Pondok Pesantren Jatipurwo. Dan sesuai rencana semula seperti yang disampaikan oleh Mbah Kiai Romli, bahwa yang bertindak memimpin acara adalah Mbah Kiai Utsman sendiri. Namun Kiai Utsman lebih memilih untuk bermakmum hingga acara Manaqiban tersebut selesai.

Setelah beberapa kali acara tersebut diadakan di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, suatu ketika seusai acara Manaqiban Mbah Kiai Utsman dipanggil oleh Mbah Kiai Romli untuk menghadap. Kiai Romli hanya ingin menyampaikan unek-unek di hatinya karena setelah acara tersebut berjalan di Rejoso, beliau merasa iba kepada murid kesayangannya itu.

Mbah Kiai Romli berkata, "Aanu Man, awakmu lak wés akéh kesibukané nang Suroboyo. Durung séng mulang santri, durung séng ngeladéni masyarakat, durung manéh engko nekani undangan, tur manéh acara nang Njoso iku sak mariné acara nang Suroboyo. Koen lak kessel Man? Séng enak ditulis waé Man, engko digantungno nang pengimaman. Dadi nék koen tepak berhalangan gak iso budal nang Njoso, engko aku séng munggah. Nék wés ono tulisané aku lak garék moco Man!?" (Begini Man, kamu kan sudah banyak kesibukannya di Surabaya. Ngajar santri, meladeni masyarakat, menghadiri undangan, belum lagi acara di Rejoso setelah acara di Surabaya. Kamu kan capek Man? Yang enak ditulis saja Man, nanti digantungkan di pengimaman. Jadi ketika kamu berhalangan hadir di Rejoso, nanti saya yang menggantikan. Kalau sudah ada tulisannya kan aku tinggal baca!?).

"Ndérék dhawuh, Kiai." Jawab Kiai Utsman patuh.

Setelah itu, ditulislah bacaan Istighatsah tersebut oleh Mbah Kiai Utsman dengan tangan beliau sendiri sesuai permintaan guru tercintanya.

Di lain cerita, bahwa Mbah Kiai Romli Tamim Rejoso Jombang mendapatkan ijazah manaqib itu dari Mbah Kiai Utsman al-Ishaqy Jatipurwo Surabaya. Tapi kalau soal thariqah, Mbah Kiai Romli adalah guru dari Mbah Kiai Utsman dunia-akhirat. Wallahu a'lam. (Sumber: Agus Ahmad Danyalin Al-Ishaqy).

Catatan tambahan: Kiai Romli Tamim sebelum menjadi guru sekaligus mursyid dari Kiai Utsman al-Ishaqy adalah teman karib dan sama-sama santri kesayangan Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. Kiai Romli diambil menantu oleh gurunya sendiri, Kiai Hasyim, sedangkan Kiai Utsman adalah yang diutus oleh Mbah Hasyim Asy'ari untuk menemani Kiai Romli. Yang kemudian Mbah Utsman menjadi murid sekaligus akhirnya menjadi penerus estafet kemursyidan Kiai Romli Tamim dengan thariqah Qadiriyah wa Nasyabandiyah.

Oleh : fp Kumpulan Foto Ulama dan Habaib
www.facebook.com/KumpulanFotoUlamaDanHabaib/photos/a.356613851095960.85503.347695735321105/1116989571725047/?type=3&source=54

http://pustakamuhibbin.blogspot.co.id/2016/10/penyusun-istighatsahan-adalah-mbah-kiai.html

Minggu, 02 Oktober 2016

Perbedaan Kiai Itu Lumrah



    Kalo ada para Kiai saling beda pendapat itu ya lumrah, biasa, memang dari dulu ya seperti itu, mulai jaman 'asu ra enak' ya emang gitu. Ulama dahulu juga saling beda pendapat, hingga muncul lah berbagai madzhab. Bahkan para Sahabat Radhiyallahu Anhum ketika masih ada Rasulullah saw. di sisi mereka saja juga biasa berbeda pendapat. Kog Sahabat, lha wong dalam Al Qur'an sendiri, Allah swt. juga telah menjelaskan dengan firman-Nya, bahwa ketika dalam satu masa ada tidak hanya satu Nabi juga mereka biasa beda pendapat. Seperti antara Nabi Ibrahim dan Nabi Luth alaihimas salam yang berbeda dalam cara menyambut tamu. Antara Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimas salam dalam cara berdakwah. Atau antara Nabi Dawud dan putranya sendiri, Nabi Sulaiman alaihimas salam, yang jelas-jelas beda pendapat dalam hal mengambil keputusan peradilan. Namun semua, mulai dari Kiai hingga Para Nabi, inti dakwah mereka pastilah sama, Rahmatan Lil 'Alamin.

Jadi ya ngga perlu ngotot ngotot 'mbelani' satu Kiai hingga merendahkan Kiai lainnya, lha wong beliau beliau yang saling beda pendapat dan menyalahkan pendapat lainnya itu saja ngga ngotot kog.

Bukankah Para Kiai NU sudah banyak mencontohkan. Seperti antara Mbah Hasyim Asy'ari yang terkenal lebih memilih hukum yang berat-berat demi ihtiyath, seperti mengharamkan kentongan, yang berhadapan dengan Mbah Faqih Maskumambang, yang terkenal lebih memilih hukum yang ringan, beliau memperbolehkan kentongan, tapi keduanya saling menghormati.

Antara Mbah Zubair Dahlan, abahnya Mbah Maimoen Zubair, yang karakternya persis Mbah Hasyim, suka ihtiyath dalam memilih hukum, beliau mengharamkan kepiting. Berbeda dengan Mbah Muhammadun Pati, yang menghalalkan makan kepiting. Tapi beliau berdua juga ngga ngotot ngototan, buktinya beliau berdua malah besanan, menyatukan Mbah Aniq Muhammadun dan Putri Mbah Zubair.

Luhumul Ulama masmumah, jangan main-main dengan kehormatan dan kemuliaan para Ulama dan Kiai.

Oleh : fb Ahmad Atho
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1421328534550526&id=100000201796519

Jumat, 30 September 2016

Istikharah KH. Hasyim Asy'ari Tentang Bentuk Negara


    Diwaktu terbentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia BPUPKI dan KH. A. Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya, disaat memperdebatkan bentuk negara apakah negara Islam atau nasional,  KH. Hasyim Asy'ari yang selalu memantau perkembangan melakukan istikhoroh dan hasilnya, beliau bermimpi bila mendirikan negara Islam adalah ibarat rumah bagus namun dilempari orang. Bila negara kesatuan nasional maka ibarat rumah jelek namun ayem tentrem. (Dawuh KH. Abdul Aziz Manshur sewaktu di Tambak Beras Jombang sebagaimana di ceritakan oleh gus Rozaq Sholeh)

Oleh : fb Mbah Bram
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10207913912033961&id=1481401194

Berjalan Demi Memuliakan Ilmu

Mbah Dalhar Watucongol selama pengembaraannya menimba ilmu di berbagai tempat, selalu berangkat dengan jalan kaki. Bukan karena tak mampu untuk berkendara, bahkan beliau adalah dari kalangan priyayi. Tiada lain karena demi memuliakan ilmu dan ahli ilmu (guru), beliau sangat menta'dzimi.

Maka ketika Mbah Shonhaji Kebumen hendak nyantri di Watucongol dan meminta izin pada ayahandanya, dijawab harus jalan kaki. Sebuah wujud ta'dziman dan takriman lahir dan batin.

Pun saat Mbah Utsman al-Ishaqy Surabaya diutus oleh Mbah Hasyim Asy'ari untuk menemani sekaligus nyantri (ngaji) ke Mbah Romli Tamim Jombang, selalu berangkat dengan jalan kaki. Hal itu berlangsung selama tahunan, hingga jika bukan karena Mbah Hasyim yang memintanya berhenti niscaya akan dilakukan selamanya dengan jalan kaki.

Jika di Tegal keteladanan seperti ini yang masyhur adalah kisah ngajinya Kiai Said bin Armia Cikura ke Kiai Abu Ubaidah Giren Talang Tegal, hingga akhirnya menjadi menantu sang kiai.

Semoga keteladanannya bisa kita resapi, tiru, meski sedikit demi sedikit, insya Allah keberkahan akan kita tuai. Amin, Ilahiy Anta maqshudi waridhaka mathlubiy.

Oleh : fb Sya'roni As-Syamfuriy
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1767938690127229&id=100007333444605

Minggu, 11 September 2016

Takbir Mbah Moen


Setelah Isya di Mushalla al-Anwar Sarang ada takbiran, para santri membaca takbir dan ketika sampai pada lafadz:

مخلصين له الدين ولو كره الكافرون

Sebagian dari mereka menambahi dengan

ولو كره المشركون، ولو كره المنافقون

Syaikhuna KH. Maimoen Zubair yang waktu itu ada di ruang tamu dan mendengar, beliau memanggil salah satu santri kemudian memberi titah:

“Cong, sing moco takbir kandani, lafale iku cukup ولو كره الكافرون, ojo mok tambahi ولو كره المنافقون. Yen pengen nambahi yo cukup ditambah ولو كره المشركون kerono sing kewarid nang Qur’an iku mung loro, yoiku: ولو كره الكافرون karo ولو كره المشركون. Dene ولو كره المنافقون ora ono nang Qur’an. Wong munafiq iku senajan haqiqote wong kafir, namung mlebu barisane wong Islam, kerono iku ojo dimungsuhi senajan gething. Yen dimungsuhi, lak podo dene mungsuhan karo podo Islame.”

(Cong, yang baca takbir diberi tahu, lafalnya itu cukup ولو كره الكافرون, jangan ditambahi ولو كره المنافقون. Kalau ingin menambahi, ya cukup ditambah ولو كره المشركون karena yang warid dalam al-Quran itu cuma dua, yaitu: ولو كره الكافرون dan ولو كره المشركون. Sementara itu ولو كره المنافقون tidak ada di al-Quran. Orang munafiq itu walaupun hakikatnya orang kafir, namun masih termasuk barisan orang Islam, karena itu, jangan dimusuhi walaupun membahayakan. Kalau dimusuhi, sama saja bermusuhan dengan sesama Muslimnya).

Anak kecil yang lemah itu pun segera ke mushalla dan membukakan buku kumpulan “Nubdzat al-Anwar” pada bab “Takbir al-Ied” dan menyampaikan titah sang Guru Besar kepada mereka.

(Saya copas ulang dari literasi yang kebanyakan tidak mencantumkan sumbernya. Padahal penting disebutkan, dalam hal ini, siapa penceritanya/sumber cerita.?).
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1731564990431266&id=100007333444605



Shighot Takbir itu sudah CUKUP dengan :

أللّه أكبر  أللّه أكبر  أللّه أكبر

Kalau ditambah seperti yang biasa kita baca / dengar, itu BAIK.

الحاوى الكبير ، ج ٢ ، ص ٥٠٠

(باب التكبير)
قال الشافعي: رضي الله عنه: " والتكبير كما كبر رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في الصلوات (قال) فأجب أن يبدأ الإمام فيقول الله أكبر ثلاثا نسقا وما زاد من ذكر الله فحسن ".
قال الماوردي: وهذا كما قال السنة المأثورة عن النبي - صلى الله عليه وسلم - في هذه الأيام أنه يكبر ثلاثا نسقا فيقول الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا يفصل بينهن بشيء، فإن زاد على ذلك فقال الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، وسبحان الله بكرا وأصيلا، لا إله إلا الله وحده، صدق وعده، ونصر عبده، وسبحان الله وحده، لا إله إلا الله والله أكبر مخلصين له الدين ولو كره الكافرون كان حسنا، وما زاد من ذكر الله سبحانه فحسن.
وقال أبو حنيفة يقول الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر ولله الحمد، وبه قال عمر وعلي رضي الله عنهما وعليه عمل الناس في وقتنا، وما ذكرنا من الثلاث النسق أولى، لأننا روينا عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال على الصفا مع ما ذكرنا من الزيادة، ولأنها تكبيرات زيدت شعارا للعيد فكانت وترا كتكبيرات الصلاة، وكيف كبر جاز.

w.facebook.com/story.php?story_fbid=1618479415148364&id=100009589638766

Sabtu, 10 September 2016

Kerukunan Dalam Perbedaan Kiai

Kalo ada para Kiai saling beda pendapat itu ya lumrah, biasa, memang dari dulu ya seperti itu, mulai jaman 'asu ra enak' ya emang gitu. Ulama dahulu juga saling beda pendapat, hingga muncul lah berbagai madzhab. Bahkan para Sahabat Radhiyallahu Anhum ketika masih ada Rasulullah saw. di sisi mereka saja juga biasa berbeda pendapat. Kog Sahabat, lha wong dalam Al Qur'an sendiri, Allah swt. juga telah menjelaskan dengan firman-Nya, bahwa ketika dalam satu masa ada tidak hanya satu Nabi juga mereka biasa beda pendapat. Seperti antara Nabi Ibrahim dan Nabi Luth alaihimas salam yang berbeda dalam cara menyambut tamu. Antara Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimas salam dalam cara berdakwah. Atau antara Nabi Dawud dan putranya sendiri, Nabi Sulaiman alaihimas salam, yang jelas-jelas beda pendapat dalam hal mengambil keputusan peradilan. Namun semua, mulai dari Kiai hingga Para Nabi, inti dakwah mereka pastilah sama, Rahmatan Lil 'Alamin.

Jadi ya ngga perlu ngotot ngotot 'mbelani' satu Kiai hingga merendahkan Kiai lainnya, lha wong beliau beliau yang saling beda pendapat dan menyalahkan pendapat lainnya itu saja ngga ngotot kog.

Bukankah Para Kiai NU sudah banyak mencontohkan. Seperti antara Mbah Hasyim Asy'ari yang terkenal lebih memilih hukum yang berat-berat demi ihtiyath, seperti mengharamkan kentongan, yang berhadapan dengan Mbah Faqih Maskumambang, yang terkenal lebih memilih hukum yang ringan, beliau memperbolehkan kentongan, tapi keduanya saling menghormati.

Antara Mbah Zubair Dahlan, abahnya Mbah Maimoen Zubair, yang karakternya persis Mbah Hasyim, suka ihtiyath dalam memilih hukum, beliau mengharamkan kepiting. Berbeda dengan Mbah Muhammadun Pati, yang menghalalkan makan kepiting. Tapi beliau berdua juga ngga ngotot ngototan, buktinya beliau berdua malah besanan, menyatukan Mbah Aniq Muhammadun dan Putri Mbah Zubair.

Luhumul Ulama masmumah, jangan main-main dengan kehormatan dan kemuliaan para Ulama dan Kiai.

Oleh : fb Ahmad Atho
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1421328534550526&id=100000201796519&ref=bookmarks

Rabu, 07 September 2016

Haji Tanpa Berhaji


♡ Tadzkirotul Auliya

TAK JADI BERHAJI DEMI PERUT TETANGGA

Seusai musim haji, Abdulloh bin Mubarok, seorang ulama masyhur pada abad ke-12 tertidur dekat Multazam. Ia seolah-olah mendengar dua malaikat bercakap-cakap.
"Ada Enam ratus ribu jemaah haji tahun ini, namun tidak seorang pun yang Mabrur, (hajinya diterima)," kata malaikat yang satu.
"Ada, seorang. Walaupun tidak datang kesini, tetapi Alloh subhanahu wata'ala berkenan memberinya ganjaran haji mabrur," kata malaikat yang satu lagi.
"Siapa dia?"
"Ali al Muwaffaq, tukang sepatu miskin di Damaskus."

Abdullah bin Mubarak terkejut, Begitu bangun, segera bersuci. Segera melaksanakan thowaf wada, dan segera berangkat ke Damaskus, ingin bertemu Ali al Muwaffaq. Ingin tahu amal apa yang ia lakukan sehingga mendapat ganjaran haji mabrur tanpa datang ke Mekah. Padahal enam ratus ribu orang yang melakukan wuquf di Arofah, jumroh di Mina, dan rukun serta wajib haji lain, malah Mardud (tertolak hajinya).

Setelah Abdulloh bin Mubarok bersusah payah menempuh perjalanan Mekah-Damaskus, akhirnya Ali al Muwaffaq dijumpai. Sehabis mengucapkan salam dan istirahat sebentar, Abdulloh memohon agar Ali al Muwaffaq mengisahkan amal perbuatan yang menyebabkannya mendapat ganjaran haji mabrur tanpa mengikuti ritual haji di Mekah pada saat itu.

Semula Ali bungkam membisu. Namun, setelah terus didesak akhirnya diam dan mau berbicara.

"Tiga puluh tahun aku menabung untuk mengumpulkan biaya perjalanan haji. Sangat susah payah mengingat penghasilanku sebagai pembuat sepatu, amat minim. Tahun ini tabunganku genap 350 dirham. Cukup untuk sekedar bekal dengan cara berhemat dan sederhana. Nah, semalam sebelum keberangkatan, istriku yang sedang mengidam mencium harum masakan dari rumah tetangga sebelah. Ia merengek-rengek agar aku memintakan sedikit saja dari hidangan yang menggiurkan itu."

"Maka kudatangi rumah tetanggaku. Seorang janda miskin dengan tiga anak kecil-kecil. Kuketuk pintu, dan kuucapkan salam, sambil menerangkan maksud kedatanganku membawa keinginan dari istri yang sedang mengidam. Ia tampak terkejut, lalu berkata pelan.
"Saudaraku Ali, memang aku sedang memasak daging unta. Akan tetapi, itu hanya halal bagiku dan anak-anakku. Bagimu dan istrimu haram.
"Mengapa?" aku tak kalah terkejut.
"Kami sudah tiga hari tidak makan. Hampir mati kelaparan. Tadi pagi anakku menemukan bangkai unta tergeletak dibawah rumpun. Kami kerat/potong daging pahanya, dan kami masak, sekadar menghilangkan rasa lapar," jawabnya.

"Mendengar itu, aku segera berlari pulang. Kuambil uang 350 dirham untuk bekal haji. Kuberikan kepada tetanggaku yang terpaksa memakan daging bangkai unta tersebut. Aku ingat sabda Rasululloh Muhammad shollallohu 'alaihi wasallama, yang menyatakan bahwa; "Tidak akan masuk surga orang yang tidur dengan perut kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan". Biarlah aku tidak jadi berhaji tahun ini, asal tetanggaku tertolong." Ali al Muwaffaq mengakhiri kisahnya.

Abdulloh bin Mubarok meneteskan air mata, dan bergumam, "Malaikat-Malaikat itu telah berbicara benar dalam mimpiku, dan Penguasa Alam Semesta (Alloh 'Azza wa Jalla) benar-benar Maha Adil pertimbangan-Nya."

Oleh : fb Moh Minanurrochim
www.facebook.com/photo.php?fbid=808013142553890&id=100000356365844&set=a.314283291926880.73231.100000356365844&comment_id=1197587620263105&notif_t=photo_reply&notif_id=1473250781234553&ref=m_notif

Rabu, 24 Agustus 2016

Pondok Lirboyo, Habib Munzir dan NU


PESAN PENTING PENGASUH PP. LIRBOYO; KH. A. IDRIS MARZUQI

Pesan Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, KH. A. Idris Marzuqi bin KH. Marzuqi Dahlan: “Santri Lirboyo ampun ngantos nderek ormas sak lintunipun jam’iyyah NU” (Santri Lirboyo jangan sampai mengikuti ormas selain jam’iyyah NU).

Salah seorang santri Lirboyo, Gojehlavana Ngajirogo Majnun Lihubbillah, mengatakan: Saya hanya menyampaikan wejangan langsung dari KH. A. Idris Marzuqi (Pengasuh PP Lirboyo), yang ditujukan kepada semua orang yang masih ingin diakui sebagai dzurriyyah dan santrinya Mbah Sepuh Lirboyo (KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Makhrus Ali).

Jikalau tidak mau lagi diaku menjadi santri Lirboyo dan yang membantah serta tidak mempercayainya, maka silakan langsung sowan menghadap kepada KH. A. Idris Marzuqi Lirboyo atau Gus Bidin (Zainal Abidin, anak angkat Gus Maksum). Wejangan ini juga diamanahkan untuk:

1. HIMASAL
2. GASMI
3. PAGAR NUSA
4. ANSHOR
5. BANSER
6. BANOM NU
7. MAJELIS RASULULLAH
8. SYEKHERMANIA

Jika ada seseorang, yang mengatasnamakan Lirboyo, mengajak gabung ke ormas selain BANOM NU, berarti itu fitnah!

Pesan Kyai Idris di atas, menurut penuturan Gus Adib, awal mulanya dulu ada beberapa habib yang sowan kepada KH. Idris Marzuqi mengusulkan agar Lirboyo mengundang seorang habib yang terkesan keras. Akhirnya KH. Idris mengutus Gus Bidin untuk meminta pertimbangan kepada Habib Mundzir al-Musawa. Dan ternyata Habib Mundzir sangat tidak rela kalau Pondok Lirboyo kedatangan habib itu, serta berharap Pondok Lirboyo konsisten seperti ini, berdakwah dengan hikmah dan mau’idzah al-hasanah. Karena mengingat latar belakang santri dan wali santri yang bermacam-macam. Dan seminggu setelahnya, Habib Mundzir wafat.

Maka ini merupakan wasiat dari Habib Mundzir yang sejalan dengan metode dakwah Pondok Lirboyo yang diwariskan oleh pendiri (KH. Abdul Karim). Dan saya yakin semua pondok dan majelis ta’lim punya metode dakwah masing-masing.

Bukankah para sahabat Nabi Saw. juga berbeda-beda dalam berdakwah, ada yang halus ada yang keras. Meskipun begitu, diantara beliau tidak ada yang saling menghujat dan tidak ada yang memaksakan metode dakwahnya agar diikuti yang lainnya. Nabi Saw. bersabda:

أصحابي كالنجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم

“Sahabat-sahabatku bagaikan bintang, kepada siapa saja kalian ikut, kalian akan mendapat petunjuk.”

Semoga sumbangan pemikiran yang kecil ini bisa membuat kita lebih semangat dalam berdakwah tanpa menghujat dan memaksakan kehendak. Kita hanya berikhtiar, Allah lah yang memberi hidayah. Allahumma aamin.

Oleh : fp Kumpulan Foto Ulama dan Habaib
www.facebook.com/KumpulanFotoUlamaDanHabaib/photos/t.100004371630091/594792000611476/?type=3&source=42&ref=bookmarks

Sabtu, 20 Agustus 2016

Habaib dan Rokok



    Mayoritas (bukan keseluruhan. pen) para Sayyid /Habib memfatwakan Haram hukumnya merokok . Disamping alasan kemadharratan jika ditilik dari segi kesehatan , ada sudud pandang yang tersembunyi dibalik fatwa mereka tersebut yang sebetulnya adalah ‘illat paling dhahir dari “keharaman” yang mereka pilih itu.
.
.
BUKAN lagi sekedar ainudh dzatnya tembakau itu yang “haram” , TETAPI renik-renik ‘kehidupan’ disekitarnya lah yang lebih membuat mereka memilih untuk mengharamkannya.

Adapun kita yang bukan dari golongan anak cucu Rasulullah SAW , hukum Rokok sudah jelas khilafiyyahnya . Tidak perlu diperdebatkan . Kita hanya mesti memahami ada sebuah sudud pandang khusus dari para ahlul Bait dalam memilih masalah ini

merokok adalah termasuk KENIKMATAN DUNIA yang luar biasa yang di ciptakan Allah untuk para Hambanya dimuka bumi ini , wabil khusus bagi penduduk Negeri ini
.
.
Sayang sekali , jalan hidup ( manhaj / thariqah ) yang dipilih oleh Baginda Rasulullah SAW untuk diri beliau dan untuk keluarga dan anak cucunya (habaib)  berbeda sekali dengan apa yang kita pilih . Rasulullah SAW memilih untuk menjauhi kenikmatan – kenikmatan dunia yang menipu ini , sementara kita cenderung untuk bersemangat menikmatinya sepuas-puasnya .

Jalan hidup semacam ini akan sangat sulit dilakukan oleh seorang perokok , karena kenikmatan merokok itu akan selalu mencandu dan meminta lebih dan lebih lagi . Sangat sulit bagi seorang perokok untuk dapat berzuhud dengan Rokoknya .
Dia tidak akan dapat membatasi dirinya menghisap rokoknya kecuali jika sudah tidak punya uang untuk membeli …!
Sayangnya , sudah tidak dapat membeli , tetapi kepinginnya setengah mati . Ini namanya Wahnan ‘ala wahnin . Celaka diatas celaka . . .

Oleh : fb Madad Salim
Al Faqir ringkas
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1003550076349853&id=100000846113244

Bendera dan Persatuan Zaman Rasulullah

Perang Mu'tah, 5 Jumadil Awal 8 Hijriah, mempertemukan pasukan kaum muslimin dengan kekaisaran Romawi Timur. Di sebelah timur Sungai Yordan dan al-Karak, dua pasukan yang jumlahnya njomplang ini bertemu. Kaum muslimin tak sampai 3000 pasukan. Di kubu sebelah, tak kurang 100.000 serdadu koalisi Byzantium dengan milisi lokal.

Sebelum berangkat, Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar apabila satu panglima gugur, maka hendaknya komando beralih ke panglima lain. Trio panglima memimpin: Ja'far putra Abi Thalib, sepupu Rasulullah yang secara fisik paling mirip beliau; Zaid putra Haritsah, dan salah satu pemuka Anshar, Abdullah bin Rawahah radliyallahu 'anhum.

Zaid bin Haritsah radliyallahu anhu membawa pasukan menerjang garda depan pasukan Romawi. Beliau gugur. Sebelum bendera jatuh ke tanah, Ja'far bin Abi Thalib menggantikannya sebagai panglima. Di bawah komandonya, pasukan secara bergelombang menyerbu musuh.

Ja'far, saudara Ali, memegang bendera di tangan kanan dan pedang di tangan kiri. Ketika tangan kanannya ditebas musuh, beliau memindahkan pataka itu ke tangan kiri. Ketika lengannya putus akibat sabetan pedang musuh, beliau masih tetap berusaha menegakkan agar panji tersebut tidak jatuh ke tanah, apalagi direbut oleh musuh. Dengan kedua tangan yang buntung, beliau berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya.

Sampai akhinya, seorang algojo lawan berhasil membunuh Ja'far. Diplomat kaum muslimin saat Hijrah ke Habasyah, yang juga berjuluk Abul Masakin, bapak kaum miskin, itu gugur. Ketika Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mendengar khabar kesyahidan sepupunya, beliau mengkabarkan bahwa Allah telah mengganti kedua tangan Ja'far ini dengan sepasang sayap. Ja'far At-Thayyar, Ja'far yang bisa terbang, demikian Rasulullah menjuluki sepupunya tersebut.

Ketika panglima kedua gugur, giliran Abdullah bin Rawahah menggantikan Ja'far. Sahabat dari kaum Anshar ini memimpin dengan gemilang sampai akhirnya beliau gugur. Tiga panglima perang, sahabat terbaik, gugur dalam satu pertempuran.

Melihat tiadanya komando terpusat, Tsabit bin Arqam Radliyallahu anhu lekas memungut bendera dari tangan Ibnu Rawahah. Beliau menegakkanya kembali, berteriak lantang memanggil satu persatu pasukan yang mulai kocar kacir, mempersatukannya di bawah kibaran panji tersebut. Akhirnya, pasukan sepakat mengangkat Khalid bin Walid radliyallahu anhu, Sang Pedang Allah, jenderal kavaleri dengan pengalaman tempur brilian, sebagai panglima.

Di bawah kepemimpinan Saifullah itu, ditunjang dengan pengalaman tempurnya yang matang, strateginya yang jitu, dan soliditas pasukan, kaum muslimin berhasil memukul mundur puluhan ribu serdadu koalisi Romawi dan milisi lokal.
----
Dari satu titik ini saja sudah terlihat kok, pentingnya mempertahankan sebuah bendera, selembar pataka, sekibaran panji. Ini bukan hanya mengangkat tangan hormat bendera, melainkan sekaligus mempertahankan tegaknya sebuah bendera, lambang persatuan, dalam sebuah peperangan.

Bendera itu hanya selembar kain, tapi apa yang terbaca di balik kain ini yang penting: panji martabat, pataka persatuan, bukti pengorbanan, lambang perjuangan dan selebihnya identitas kedirian kita.

Jadi kalau masih ada yang rewel soal hormat bendera dengan alasan "itu hanya kain biasa", "jangan menyembah kain", coba pinjamlah foto dirinya atau foto bapak ibunya, lalu injak-injak, kalau perlu, bakar. Belum cukup, KENCINGI (lek kowe ora isin ngetokne anumu)! Kalau marah, jawab: "Ah, akhi, bukankah ini HANYA selembar foto?"

Oleh : fb Rijal Mumazziq Z
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1052214771526825&id=100002149375608

Belajar Kearifan Perbedaan dari Ulama NU

    Ini kisah lama yang sudah biasa diceritakan Gus Dur dan warga NU biasanya familiar dengan cerita ini. Saya mau berbagi kisah ini disini karena banyak jamaah Facebook yang tentunya bukan NU dan non-Muslim. Begini, dulu ada dua ulama besar pendiri NU yang berbeda pendapat tentang sesuatu tapi saling menghargai satu sama lain. Kedua ulama itu adalah Mbah Kiai Hasyim Asy'ari, kakeknya Gus Dur yang juga pendiri dan sekaligus "panglima tertinggi" NU yang pertama dan Kiai Faqih Maskumambang, pendiri NU juga sekaligus jadi wakil ketua, mendampingi Mbah Hasyim.

Kedua ulama ini merupakan sahabat dekat. Sangat dekat. Keduanya pernah sama-sama mondok di pesantren seorang kiai-wali kharismatik: Syaikhona Kholil Bangkalan. Keduanya juga dulu pernah bareng belajar di Makah. Seperguruan lagi. Misalnya sama-sama belajar dengan Kiai Mahfudh Termas yang ahli Hadis. Bukan hanya itu saja. Mbah Hasyim pernah mengambil mantu keponakan Kiai Faqih. Jadi persahabatan mereka betul-betul sejati.

Meski bersahabat, keduanya pernah berbeda pendapat dan berpolemik sengit sekali tentang hukum menggunakan kentongan sebagai "panggilan salat". Kiai Hasyim ngotot haram memakai kentongan karena tidak ada dalilnya. Sedangkan Kiai Faqih ngotot membolehkan menggunakan kentongan. Untuk menguatkan pendapat, masing-masing menulis sebuah kitab. Keren kan? Dengan menulis buku, perbedaan pendapat itu jadi bernilai akademik. Saya melihat para ulama dulu mentradisikan penulisan buku untuk mengekspresikan pendapat atau sebagai sanggahan terhadap pendapat seseorang.

Meskipun berpolemik tajam, keduanya saling menghargai dan menghormati. Pernah suatu saat, Kiai Faqih memerintahkan para kiai di Gresik untuk menurunkan kentongan di masjid-masjid dan langgar-langgar sebagai pengormatan kepada Kiai Hasyim karena beliau hendak mengisi ceramah di pesantren Kiai Faqih. Subhanallah. Indah sekali, kan?

Meskipun mereka sengit berbeda pendapat tapi sama sekali tidak pernah saling menyesatkan, menyalahkan, apalagi mengkapirkan. Coba bandingkan kearifan beliau berdua, para ulama besar yang keilmuan keislamannya luar biasa dalamnya ini, dengan perilaku sejumlah kaum Muslim "unyu-unyu" dewasa ini yang hanya karena berbeda pendapat dikit saja sudah ngamuk, ngumpat, menyumpah-serapahi "lawannya" dan bahkan menggeruduk dengan membawa pentungan segala.

Selama kita berada di dunia, maka perbedaan pendapat tak pernah sirna. Benar menurut kita, belum tentu benar menurut orang lain. Salah menurut kita, belum tentu salah menurut orang lain. Yuk, kita belajar dari kearifan Mbah Hasyim dan Mbah Faqih. Malu kan dilihat umat lain, jenggotnya sudah panjang kok masih nakal ngamukan...

Oleh : fb Sumanto Al Qurtuby
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10157154245605523&id=762670522

Kamis, 18 Agustus 2016

Belanda dan Wirid Raja Jawa

  Disini al faqir hanya sedikit mencoba mnulis cerita Yai Muhammadun, yg beliau sampaikan pada kajian beliau.
=============
"mbah Sanusi dongeng, poro ratu jawi niku Sedanten wiridane niku, Ayat Kursi kaleh Amanarrasulu __,"
(mbah Sanusi bercerita, para Ratu Jawa itu semuanya wiridannya itu, Ayat Kursi dan Amanarrasulu __,")

"Niku ratu jowo mulai Amangkurat sepisan, niku wiridane nggeh niku, semedine diwoco niku. Dadi wonten musuh nopo mawon nggeh niku seng ti ngge nulak. Neng nggeh niku, riyadhohe seng kito mboten kiyat."
("itu Ratu Jawa mulai Amangkurat pertama, itu wiridannya ya itu, semedinya baca itu. Jadi ada musuh apa saja ya itu yg digunakan untuk menolak. Tapi ya itu, riyadhohnya yg kita tidak mampu.")

"Milo lajeng, Ratu Amangkurat sepisan sahinggo dugi Ratu Amangkurat kaping enem, niku sedanten Londho ajeng mlebet lak mboten iso. Mergo angger iku ti woco mriko angger obah mpun bingung."
("makanya, masa Ratu Amangkurat pertama sampai Ratu Amangkurat ke-6, itu Belanda akan masuk kan tidak bisa. Karena setiap itu dibaca, mereka bergerak saja sudah kebingungan.")

"Sareng kaping pitu lha niki lak mulai Londho saget mlebet mriki, sareng dugi rolas amblas."
("sampai Ratu Amangkurat ke-7, Belanda mulai bisa masuk kesini (jawa). Sampai ke-12, lebih leluasa.")

m.youtube.com/watch?v=RGp5ASd959Y

Rabu, 17 Agustus 2016

Penurunan Bendera Habib Luthfi


Habib Luthfi Pekalongan (athoolalloh baqo-ah fi 'afiyah) mengisahkan bhwa pernah waktu masih kecil beliau menurunkan dan melepas sangsaka merah putih karena memang sudah waktunya turun.
Dengan santai beliau membuka tali bendera,meletakkan tiangnya lalu melenggang dengan menenteng bendera tersebut layaknya secarik kain biasa. Tiba-tiba..

ctarr..

"aduuh.." teriak Habib Luthfi kecil sambil memegang kupingnya yg langsung bengkak, menengok kebelakang ternyata yang "nylentik" kuping beliau adalah Ayahanda beliau sndiri yg juga terkenal sebagai pendekar sakti.

"mrene le tak kandani" panggil ayahanda,"iki keto'e kain biasa, cuma kain abang karo putih disambung. Tapi iki sejatine ora kain biasa, ini menjadi harga diri bangsa."
("kemari nak saya beritahu" panggil ayahanda, "ini kelihatannya kain biasa, hanya kain merah dengan putih disambung. Tetapi ini sejatinya bukan kain biasa, ini menjadi harga diri bangsa.")

"Hargai ini, lepas talinya, ambil benderanya dan letakkan diatas pundakmu, kalo tiangnya silahkan kamu letakkan dibawah, tapi benderanya hargai, apa kamu mau menunggu orang (bangsa) lain yang menghargainya?!"

ternyata nasehat ini rasanya lebih keras memukul telinga dan kepala Habib Luthfi sehingga masih terngiang sampai sekarang.
=============
nasehat dari rekaman mauidzoh Habib Luthfi di Kudus.
=============
INDONESIA..
Merah darahku..
Putih tulangku..
....
geebyar..geebyar..peelaangii jinggaa...

Oleh : fb Ahmad Atho
www.facebook.com/story.php?story_fbid=709877385695648&id=100000201796519

Selasa, 16 Agustus 2016

Nasionalisme Kiai Malik


17-AN ALA ULAMA

Sewaktu masih nyantri, Habib Luthfi pernah diajak bepergian dari purwokerto menuju pekalongan oleh guru Thoriqoh an Naqsyabandiyah beliau, Mbah Malik Purwokerto, Putra KH. Muhammad Ilyas.
Ditengah perjalanan, tepatnya ditengah hutan antara Bantarbolang dan Randudongkal, sekitar jam 09.40 Mbah Malik berkata pada sopirnya, Suyuthi :
"Pak Yuthi, mandeko ndisik!"
"nggeh, Mbah"
"golek nggon sg adem ae, sg keno nggo gelaran tikar"
"nggeh, Mbah" jawab si sopir nurut.

setelah mendapat tempat yang teduh dan enak, mereka membentangkan tikar dan mengeluarkan bekal yg dibawa, sedangkan Mbah Malik memilih menghisap rokok tirwe alias rokok gelintir dewe, dan sesekali merogoh saku, mengeluarkan jam lalu berkata:
"dilut maning (sbentar lagi)"

begitu jam menunjukkan pukul 09.50 tepat, Mbah Malik mematikan rokoknya dan berkata:
"ayo Pak Yuthi, Habib mriki"
mengajak kedua murid berkumpul bersila. Dan tiba-tiba Mbah Malik membaca tawassul:
"ila hadlrotin Nabi l Mushthofa Muhammadin ...ila fulan..fulan..fulan, al faatihah"
"ila hadlroti Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiyai Mojo, Jendral Sudirman, jendral...jendral..alfaatihah"
dalam hati, Habib Luthfi bertanya:
"lho lho..kog mlayune mrunu-mrunu??,kog ajib temen, dikirimi fatehah kabeh"

dan ketika jam 10.00 tepat, Mbah Malik terdiam sebentar lalu berdo'a dan dalam do'a itu pun beliau menyebut nama-nama pahwalan kemerdekaan yg disebut sebelumnya.

namanya juga ditengah hutan belantara, sang guru tiba-tiba menyuruh berhenti, tawasul lalu berdo'a utk orang-orang yg tdk biasa, karena merasa khawatir akan ada bahaya yang terjadi, Habib Luthfi memberanikan diri utk bertanya:
"Mbah, wonten nopo sih, mbah?"
"anu yek, pak yuthi, niki jam 10 niki rumiyen Pak Karno Pak Hatta mbaca napa..mbaca napa?" Mbah Malik lupa
"Proklamasi, mbah" jawab murid berdua
"ya ya niku..lha kita niku mandeg..ngurmati niku"


============
ternyata Sang Guru menyuruh berhenti sejenak hanya untuk menghormati Para Pahlawan Kemerdekaan Republik ini. Kita lihat, ternyata Sudah sejauh itu penanaman mencintai Republik dan Bangsa ini oleh Sesepuh kita dahulu.
============
Lahum al Faatihah

MERDEKA..!!!

Oleh : fb Ahmad Atho
www.facebook.com/story.php?story_fbid=709735869043133&id=100000201796519&ref=content_filter

Kamis, 11 Agustus 2016

Pesantren Lirboyo dan Kemerdekaan Indonesia


    Pesantren Lirboyo merupakan pondok pesantren yang memiliki sejarah panjang dan memiliki peran besar dalam sejarah memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Ponpes ini juga memiliki kisah perjuangan yang melegenda saat awal kemerdekaan. Pada medio September 1945 disebutkan, tentara sekutu datang ke Indonesia dengan menggunakan nama tentara NICA. Hal itu lalu membuat para kiai HBNU (sebelum PBNU) memanggil seluruh ulama di Jawa dan Madura membicarakan hal ini di kantor HBNU Jalan Bubutan, Surabaya.

    Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil, yaitu perang untuk melawan Belanda dan kaki tangannya dengan hukum fardhu ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motivasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk Pesantren Lirboyo.

    Tepat pada jam 22.00 berangkatlah para santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran di bawah komando KH. Mahrus Ali dan Mayor H. Mahfudz. Sebelum penyerbuan dimulai, seorang santri yang bernama Syafi’i Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor H. Mahfudz.

    Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam penyerbuan itu, gema takbir “Allahu Akbar” berkumandang menambah semangat juang para santri.


    Saat datangnya Jenderal AWS Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945 di Pelabuhan Tanjung Perak, stabilitas kemerdekaan mulai nampak terganggu terutama di daerah Surabaya. Terbukti pada tanggal 28 Oktober 1945, para tentara sekutu ini mulai mencegat pemuda di Surabaya dan merampas mobil milik mereka. Puncaknya adalah mereka menurunkan bendera merah putih yang berkibar di Hotel Yamato dengan bendera Belanda.

    Selang beberapa lama, Mayor H. Mahfudz melapor kembali kepada KH. Mahrus Ali di Lirboyo bahwa tentara sekutu yang memboncengi Belanda telah merampas kemerdekaan dan Surabaya banjir darah pejuang. Maka KH. Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri Lirboyo untuk berjihad kembali mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

    Dengan mengendarai truk, para santri di bawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihad menghadapi musuh. Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri. Peristiwa itu belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di sekitar Kediri.

    KH. Mahrus Ali juga mempunyai andil besar dalam perkembangan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah NU Jawa Timur selama hampir 27 tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU pada tahun 1985 M.

Oleh : fb Burhanuddin
www.facebook.com/photo.php?fbid=1666884420191105&id=100006086888536&set=t.100004371630091&source=42&ref=bookmarks