Sabtu, 10 Desember 2016

Sufistik Gus Miek


Gus Miek atau KH HAMIM THOHARI adalah putra KH.Jazuli Ustman, pendiri pesantren Al Falah, Ploso, Kediri. Seorang pencetus lahirnya MAJELIS SEMA'AN AL QUR'AN DAN DZIKRUL GHOFILIN yang diyakini banyak orang sebagai seorang WALI.

Wali Malamatiyyah, itulah yg sering dinisbatkan pada Gus Miek. Yakni wali yang menyembunyikan kewaliannya, dengan tampil buruk di mata manusia, buruk menurut standar dzahir. Dengan dipersepsikan buruk dan nista, lalu dikucilkan/diabaikan, sehingga sang wali jadi bisa fokus pada kemesraannya dengan Gusti Allah. Dengan kata lain, mono-loyalitas wali malamatiyyah kepada cintanya ke Allah-lah yang membuatnya tak peduli dengan ukuran-ukuran manusia.


Gus Miek adalah sosok yang sangat dihormati oleh tokoh sekaliber Mbah Hamid Pasuruan dan KH Achmad Siddiq, dan juga Gus Dur. Kok bisa?

Salah satu penjelasan tentang kehidupan ganda Gus Miek adalah bahwa itu sejatinya bukan kehidupan ganda. Gus Miek sejak awal mengasuh majelis "sema'an Al Qur'an dan dzikrul ghafilin" mengingatkan mereka yang lupa pada Allah. Al-Ghafilin, manusia-manusia lupa, yang juga mencakup mereka yang di dunia hitam bahkan non muslim.

Itulah Gus Miek 'njegur' (menceburkan diri) ke situ. Njegur artinya harus menerima resiko gupak (terkena belepotannya). Tapi Gus Miek diyakini hanya gupak secara lahir, tidak batinnya. Dengan cara begitu Gus Miek menyapa kaum dunia hitam, tidak dengan cara menghujat atau merazia mereka, tapi dengan pendekatan dari dalam. Meng-uwongke (memanusiakan) mereka.

Tetapi, njegur tanpa ikut hanyut hanya bisa dilakukan sufi dengan maqam spiritualitas tinggi. Karena itu Gus Miek dihormati. Uniknya, tak semua orang yang punya perilaku-perilaku nyleneh adalah wali.
Bisa saja itu orang gak bener. Para sufi mengajarkan agar kita tak gampang percaya dengan penampilan religius seseorang, tapi juga tak gampang tak percaya.

Yang dilakukan Gus Miek adalah membunyikan genta harapan kepada mereka yang putus asa, menyapa mereka yang lemah, yang tersisih karena diangap pendosa.

Doktrin teologi Aswaja tentang "anugerah Allah sebagai penentu keselamatan". Hal ini berkait erat dengan keyakinan tentang pentingnya peran syafaat Nabi. Di hadapan Allah, kita tak berhak mengklaim apa-apa. Semua prerogatif-Nya. Tapi semoga syafaat Nabi bisa membantu kita.

Keyakinan Aswaja semacam itulah yang melatari kenapa Gus Miek, juga Gus Dur, tak gampang menghakimi manusia, siapapun dia. Kalau kita sendiri saja tak pernah bisa memastikan nasib kita di akhirat, bagaimana kita bisa dengan jumawa yakin akan nasib orang lain?

Dari doktrin Aswaja itulah muncul sikap Gus Miek dan Gus Dur yang melihat manusia sebagai manusia.
" TIDAK DENGAN HUJATAN, TAPI DENGAN GENTA HARAPAN "

Dikutip dari beberapa tulisan GUS DUR
.إن الله يجمعنا و اياهم ويهدينا بهدايتهم ويحمينا بحمايتهم ويمدنا بمددهم ويعيد علينا من بركاتهم و اسرار هم و انوارهم وعلومهم فى الدارين أمين ٤٤٤٤x لهم الفاتحة...
 Lahum Al Fatihah..

Oleh : fb Ragyl Wujdy
Dengan pengubahan dan ringkasan
www.facebook.com/story.php?story_fbid=680255262142815&id=100004750422473

Tidak ada komentar:

Posting Komentar