Selasa, 31 Januari 2017

Santri Nakal Didikan KH. Fattah Hasyim


    Santri, merupakan istilah bagi orang yang berada di pesantren atau orang yang  menguasai ilmu agama, khususnya di Indonesia. Tapi sebagai layaknya manusia biasa tak jarang di pesantren terdapat beberapa santri terbilang nakal.

    Suatu hari di sebuah pesantren, keamanan menangkap santri yang sedang mencuri. Santri tersebut sudah tertangkap beberapa kali dan akhirnya disidang pihak keamanan pesantren. Ironisnya yang dicuri adalah pakaian dalam santri putri (BH,red). 

    Dilaporkan pada Kiai perihal tersebut 
"Yai,, santri ini nakal, sering mencuri BH, kami dari pihak keamanan menginginkan santri ini dikeluarkan"

"Lhooo.. Kalau santri ini nakal jangan bilang saya, saya sudah tahu. Lha dia dipondokan disini karena nakal kok. Apa tak malu, kita dititipi untuk memperbaiki belum baik kok sudah dikembalikan."
Jawab Kiai,, yang membuat kaget para keamanan.

"Tapi ya sudah,, saya hargai hasil musyawarah keamanan bahwa santri ini dikeluarkan dari pesantren, tapi biar sekarang dia tinggal dirumahku saja."
Imbuh Kiai yang semakin membuat keamanan kaget. Bagaimana perlakuan Kiai terhadap santri/orang yang sangat nakal sekalipun. 

    Walaupun tinggal di rumah Sang Kiai, tak banyak yang harus dikerjakan santri tersebut. Ketika Kiai mau mengajar mengaji, santri cuma disuruh membawakan kitab dan menandai setiap bagian akhir Kiai mengajar. Setiap Kiai mau mengimami sholat santri disuruh mempersiapkan tempat, hanya begitu seterusnya selama dia mondok.

    Ternyata dengan cara sederhana tersebut, otomatis dia selalu mengaji dan menyimak setiap kajian dan dawuh Sang Kiai. Begitu juga dengan sholat berjamaah, yang bahkan jadi terbiasa mengikuti Sang Kiai sholat malam.

    Setelah beberapa tahun, akhirnya santri tersebut pulang. Tanpa disangka di kampung dia didatangi banyak orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hingga dibuatlah sebuah pesantren karena santrinya yang semakin banyak.
____________

    Diambil dari dawuh KH. Anwar Zahid Bojonegoro. Ada versi lain dawuh dari Gus Dur ketika di Tegalrejo yang hampir sama dan mungkin sama bahwa Kiai tersebut adalah Kiai Fattah Hasyim Jombang, sebagai keamanan pesantren adalah Gus Dur sendiri dan santri tersebut dirahasiakan. Tapi untuk yang dicuri tidak dijelaskan BeHa.. Hahaha.. Meskipun demikian, ada lagi versi cerita

    Pada suatu kesempatan, Gus Dur bertemu santri tersebut yang sudah menjadi Kiai dengan banyak santri. Seolah hanya nyindir dengan santai Gus Dur bertanya,
"yang kamu curi warnanya apa Ndaaa..,?"
Sontak, mereka berdua langsung tertawa terpingkal-pingkal.

Wallahu A'lam...
Al-Faatihah... 

Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh Gus Dur dan KH. Anwar Zahid

Senin, 30 Januari 2017

Berkah Rokok Kiai Wahab Chasbullah


    Ada seorang santri dari Cirebon, mondok kepada KH. Wahab Chasbullah (pendiri NU). Santri dahulu, saat malam Jumat yang kegiatan sedikit longgar, biasa memasak bersama-sama untuk mengganjal perut. Setelah makan, merokok adalah menjadi kebiasaan kebanyakan santri untuk mengobati kepedasan makanan dan mendatangkan kenikmatan tersendiri.

    Celakanya, setelah mencari kesanan kemari, santri tersebut tidak menemukan rokok. Dan ditengah kebingungan dan saat itu masih sangat gelap karena belum ada listrik, dari jauh terlihat seseorang sedang berjalan dan merokok. Tanpa berfikir panjang santri tersebut berlari menghampiri
"Kang, sak sedotan"
(Kang, minta satu hisapan)

"nyoh.. " (ini) 
sembari memberikan rokoknya

    Karena hanya minta satu hisapan, santri tersebut menghisap kuat-kuat rokoknya. Sehingga dengan cahaya dari rokok, dengan kaget santri tersebut tau jika orang yang dimintai rokok tersebut bukanlah seorang santri melainkan Kiainya yakni Kiai Wahab. Langsung, santri tersebut berlari.. 
"Yai... Ngapunten..."
(Kiai... Maaf..) 
Rokok pun terbawa 

"Kang... Jare sak sedotan.. ?"
(Kang... Katanya cuma satu hisapan) 
Kiai Wahab, mencoba menghentikan santri tersebut yang terus berlari.

    Akhirnya, santri tersebut menjadi Kiai besar yang memiliki santri ribuan di Cirebon

Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh KH. Anwar Zahid dan KH. M. Najib Muhammad.

Kamis, 26 Januari 2017

Gus Dur Puasa Suro

    Pada suatu kesempatan, Gus Dur bersama A.S Hikam mantan Menristek yang merupakan teman dekat Gus Dur meghadiri pengajian di Jawa Barat. Acara bertepatan di Bulan Asy-Syura (Suro, Jawa) yang di isi mauidhoh oleh Kiai dari Demak. Dalam mauidhohnya Kiai menyampaikan beberapa keutamaan puasa di Bulan Suro yakni barangsiapa berpuasa satu hari seperti berpuasa satu tahun.

    Seusai acara, Gus Dur dengan keseriusan berbicara pada A.S Hikam temannya,
"Kam, besok puasa lho kam"

"Ah, yang bener Gus"

"Iya Kam, lumayan.. Dawuh Kiai tadi puasa sehari seperti puasa setahun"

    A.S Hikam kurang percaya, karena keadaan Gus Dur yang kurang baik di tengah banyaknya kegiatan. Keesokan harinya, mereka berdua harus pergi ke Tuban menghadiri acara haul. Ditengah perjalanan sekitar waktu Dhuhur, Gus Dur meminta A.S hikam berhenti

"Kam, berhenti cari tempat makan"

"Loh, kan puasa Gus.. ini masih tengah hari"

"Iya Kam, saya ambil setengah tahun saja, lumayan"
Jawab Gus Dur datar.

Oleh : admin Imam Mahmudi
Dari dawuh KH. M. Najib Muhammad

Rabu, 25 Januari 2017

KH Tolhah Mansur Berkah Tikar


    KH Tolhah Mansur adalah pendiri salah satu badan otonom NU yakni IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). Mungkin tak ada yang mengira, bahwa Kiai Tolhah dilahirkan dari lingkup keluarga biasa bukan dari keluarga kalangan pesantren. Pak Mansur ayahnya, adalah seorang penjual tikar, beliau sangat memuliakan para Kiai. Karena tergolong hidup pas pasan, Pak Mansur sering tabarrukan dengan memberikan tikar-tikarnya pada para Kiai.

    Putra Pak Mansur ini lantas menjadi Kiai besar, KH Tolhah Mansur pendiri IPNU. Yang akhirnya beliau diambil menantu oleh KH. Wahib putra dari KH. Wahab Chasbullah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. KH. Tolhah Mansur mempunyai putra yang salah satunya adalah Romahurmuzy yang sekarang menjadi ketua PPP pusat.

    Ada cerita yang hampir sama, yakni seorang wali dari Madura. Meski hanya orang biasa, tapi setiap acara Haulnya Raden Ibrahim alias KH Syamsul Arifin ayah dari KH As'ad Syamsul Arifin, beliau selalu memberikan sapi untuk acara Haul. Mungkin sebab memuliakan KH Syamsul Arifin yang merupakan wali inilah, akhirnya orang tersebut juga menjadi wali.

    Banyak kisah seperti kisah kisah di atas, dan sebagaimana yang disampaikan KH Qoyyum Mansur saat haul KH Bisri Syansuri Denanyar Jombang 2016. Bahwa banyak orang biasa jadi Kiai karena orang tuanya memuliakan Kiai. Banyak Kiai yang anaknya jadi orang biasa karena menghina kebodohan orang. Kiai barokahi, wong bodo malati (Kiai membawa berkah, orang bodoh bisa menjadi sebab kuwalat).

Oleh : fb Fatih ElMufid
Diambil secukupnya dari dawuh KH. Ahmad Hasan, Rois Syuriyah MWCNU Jombang Kota di Masjid Ar-Raudhoh Sabtu 17/1/2017.
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10206266381257924&id=1817501487

Kamis, 19 Januari 2017

Kiai Maimun Zubair Bercerita Pandawalima (Bag. 1)

    Dalam Islam dari permulaan sudah diberi pelajaran bahwa untuk mendapat kebahagiaan lahir batin dunia akhirat agar menjalankan rukun-rukun Islam yang lima. Bagi pecinta pewayangan tentu kita mengenal Pandawalimo (pandowolimo) atau juga disebut Baladewa dan bukan Balakurawa. Mereka adalah Punthadewa, Brantasena, Janaka, Nakula, dan Sadewa yang merupakan penggambaran lima rukun Islam.

    Punthadewa adalah sesepuh dari Pandawalima yang mempunyai jimat Kalimasada (kalimososdo). Kalima itu kalimat dan Sada itu adalah Syahadat yang berarti Kalimat Syahadat. Atau juga diartikan kalima itu kelima dan Sada (sodo) yang dalam bahasa jawa kuno adalah dua belas, yang jika dijumlah menjadi tujuh belas. Disini adalah penggambaran bahwa seseorang bisa dikatakan Syahadad (mengakui adanya Allah), adalah dia yang bersungguh-sungguh disertai menjalankan sholat 5 waktu yang berjumlah 17 rakaat.

    Brantasena (brontoseno) Pandawalima  ke dua yakni yang mempunyai jimat Kuku Pancanaka. Kuku adalah kuku jari, panca berarti lima sedangkan naka berarti waktu. Disini adalah penggambaran bahwa siapa yang mau menjalankan sholat lima waktu akan mendapatkan surga. Mengapa diartikan surga, karena kuku adalah lambang dari surga yang tak lain jika mengingat kisah Nabi Adam dan Siti Hawa. Beliau berdua dijatuhkan dari surga dan sifat dari surga jadi berangsur berubah. Rambut jadi memutih, gigi pun juga berangsur terlepas kecuali kuku yang nyaris tetap.

    Ini juga yang menjadi sebab mengapa Brantasena satu-satunya wayang yang bisa disujudkan, karena sujud merupakan lambang dari sholat. Yakni pengabdian Brantasena kepada Hyang Widhi, Hyang adalah Tuhan sedangkan Widhi adalah satu, yang tak lain adalah Allah.

Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil secukupnya dari dawuh Kiai Maimun Zubair 

Senin, 16 Januari 2017

Kiai Maimun Zubair dan Kitab Wali


     Mengenai penyebaran Islam di Jawa, mungkin memanglah sangat mengherankan. Tanpa peperangan  dan bagaimana para wali mengajarkan dengan kearifan dan pendekatan kultural tapi mampu merubah Islam menjadi mayoritas. Ada yang tak kalah unik yakni, mulai zaman Walisongo hanya terdapat kitab dan masjid-masjid wali tapi semuanya bisa lestari.

    Di Sarang Rembang, terdapat satu satunya Masjid wali yang tepatnya di desa Belitung Sarang. Terdapat tujuh kitab yang terbilang kecil dalam masjid tersebut. Diajarkan yang jika sampai khatam semua bisa jadi kiai besar, yang tidak pernah dibacakan (ngaji) tidak bisa membaca (memahami).
Makam Kiai Abdullah Fattah Mangunsari Tulungagung
    Kiai Maimun Zubair pun merasakan hal tersebut, hingga suatu saat beliau sampai pergi ke Tulungagung Jawa Timur menanyakan perihal tersebut kepada cucu dari Kiai Abdullah Fattah Tulungagung.
" kenapa kitab ini terasa susah dikaji, apa sebabnya..? "

" iya Gus,, (sapaan kepada Mbah Moen) saya itu kitab yang pernah saya mengaji bisa membacanya, tapi yang belum pernah saya mengaji terasa susah, makanya jika saya mengajar tidak pernah sampai khatam. Karena dulu tidak mengaji sampai khatam. "
Jawab Cucu dari Kiai Fattah kepada Mbah Moen. Yang beliau sendiri memang mengajarkan kitab-kitab tinggalan Kiai Fattah, tapi juga selalu tidak sampai khatam.

    Di Masjid Belitung tersebut, kitab tersebut dikaji sejak Walisongo sampai periode terakhir yakni Kiai Abdullah dan Innalillah, semua sudah hilang semua tak ada yg bisa mengkaji. 

    Ada kebiasaan dan pesan sebagian Kiai Jawa, "mengajarkan kitab itu harus kitab yang dulu pernah mengaji."

Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh KH Maimun Zubair

Senin, 09 Januari 2017

Guyonan Rokok Kiai Ma'ruf dan Kiai Abdul Karim


    Tak lama setelah NU resmi lahir th 1926, tak mau ketinggalan, Kota Kediri pun segera membentuk kepengurusan NU di tingkat cabang, dan secara aklamasi, KH Ma'ruf Kedonglo (yg dikenal sebagai waliyulloh Kediri) terpilih sebagai sebagai Rois Syuriah, sedangkan KH Abdul Karim Lirboyo menjadi Ketua Tanfidziyah dan KH Abu Bakar Bandar Kidul sebagai Katib Syuriah NU Kota Kediri (waktu itu, kota & kabupaten menjadi satu). Usia beliau-beliau waktu itu sudah diatas 70 tahunan. Unik juga kalau kita membayangkan ulama-ulama sepuh sekaliber beliau menjadi pengurus harian cabang NU. Tetapi itu juga cukup menggambarkan betapa luarbiasanya NU di awal-awal kelahiranya. Benar- benar sebuah kebangkitan para Ulama.

    Ketiga Kyai Nusantara ini kemana-mana selalu runtang runtung bersama-sama, tetapi dalam urusan rokok, mereka sangat berbeda. Kyai Ma'ruf dikenal sebagai perokok berat, Kyai Abdul Karim tidak merokok sama sekali , sedang Kyai Abu Bakar sesekali terlihat merokok juga. Suatu saat, melihat Kyai Ma'ruf merokok tanpa henti, Kyai Abdul Karim mencoba menggoda : " Kang, iku pawonan opa lambe tho? (Mas, itu tungku api apa mulut?). Kyai Ma'ruf segera menyahuti candaan teman karibnya ini: " Yo iki kang, bedane antarane wedus (dalam riwayat lain "sapi") lan menungso, lek menungso yo ngrokok" (Ya ini mas bedanya antara kambing (sapi) dengan manusia, kalau manusia ya merokok). Sementar Kyai Abu Bakar hanya diam saja melihat kedua sahabatnya ini bercanda, sambil meneruskan bacaan sholawat yg menjadi kebiasannya.

    Di lain kesempatan, Kyai Abdul Karim pernah bercanda : " Wong nok kadung nyekik udud, sok nek nang kuburan ora nemu udud, bakale ngemut dzakare dewe " ( Orang yang sudah kecanduan rokok, saat dikuburan nanti tidak menemukan rokok yang bisa dihisap, maka dia akan menghisap kemaluannya sendiri).
Namun unik juga, kedua menantu KH Abdul Karim, yaitu KH Marzuki Dahlan dan KH Mahrus Ali justru mengikuti jejak KH Ma'ruf Donglo menjadi NU GR (Garis Rokok).
Kendati beliau-beliau berbeda dalam urusan rokok, tetapi mereka sepakat dalam hal minum kopi.

Oleh : fb AN Ang-hab
www.facebook.com/story.php?story_fbid=219188318427545&id=100010091347639

Gus Karim Hasyim, Mondok Hanya 7 Hari

    Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari menitipkan puteranya, Abdul Karim Hasyim yang masih kanak-kanak kepada Kiai Nawawi agar dapat belajar kepada kiai-kiai Kajen.

    Baru tujuh hari tinggal di rumah Kiai Nawawi, Gus Karim pamit pulang meninggalkan pondok atau dalam pesantren lebih dikenal dengan istilah boyong.
“Ngaji saya sudah khatam… katanya sudah boleh pulang…”pamit Gus Karim kepada Kiai Nawawi.

Kiai Nawawi bingung, karena Ia belum mulai mengajar Gus Karim sama sekali dan sepengetahuannya Gus Karim juga belum ikut mengaji kepada kiai Kajen lainnya.

“Awakmu ngaji apa, Gus?” Kiai Nawawi bertanya.

“Jurumiyyah”.

“Yang mengajar siapa?”

“Tidak tahu… orang tua…”, Gus Karim menggambarkan guru yang mengajarnya.

Kiai Nawawi manggut-manggut, menyembunyikan rasa kagetnya. Gus Karim pun dilepas kembali ke Tebuireng.

    Beberapa waktu kemudian, Kiai Hasyim tiba-tiba datang ke Kajen, membuat kelabakan semua orang. Kiai Nawawi-lah yang dituju.

“Kenapa anakku kau pulangkan, Kang?” Kiai Hasyim menggungat, “padahal dulu Thohir kau titipkan kepadaku juga kuterima…”

(Kiai Nawawi tak enak hati)
“Bukannya saya pulangkan, ‘Yai… tapi kayaknya Gus Karim itu sudah cukup ngajinya”.

“Lho. Cuma seminggu itu memangnya kau ajari apa?”

“Bukan saya yang ngajar, ‘Yai”.

“Lha siapa?”

“Mbah Mutamakkin…”(sebagaimana ciri yang diceritakan Gus Karim?)

    Mbah Mutamakkin sendiri adalah pendiri Pesantren Kajen Pati yang padahal beliau sudah wafat sejak pertengahan abad 17. Sekarang makamnya berada di depan Perguruan Islam Mathaliul Falah, di desa Kajen Kecamatan Margoyoso Pati Jawa Tengah.

Oleh : fb Joko Bedhug Karimov
Dengan sedikit tambahan
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1828313784047396&id=100006063758499&comment_id=1828504327361675&notif_t=like&notif_id=1483832225096005&ref=m_notif

Minggu, 08 Januari 2017

Kiai Muhammadun, Pentingnya Sanad

KH. Muhammadun Pondowan Pati dalam pengajian tafsirnya ayat 81 surat Ali Imron berkata (harfiyyahnya) :


    "Qoola Ba'dlul Afaadhil : Laulal Isnaad Laqoola Man Syaa' bimaa Syaa'
(Sebagian ulama berkata : jika bukan karena sanad, pasti siapa saja yang mau akan berkata dengan apa saja yang diinginkannya.)


    
Dadi tiyang nduwe ilmu kapan mboten nduwe sanad, geh niku sak uni-unine, sak kudune, sak enake. Dade nggeh wong nggabrul jengene, wong ngawul jengene. Akhire nggeh ajur. Mboten iso jujur nek ngoten. Lah umat Muhammad gadah khushusiyyah, nggeh niku sanad. Dadi nopo-nopo wonten sanade, 'anin Nabi 'an Jibril 'anillahi Ta'ala. Kapan mboten ngoten mboten sah.
(Jadi orang punya ilmu tetapi tidak ada sanad/jalur keilmuannya akan berkata sesukanya dan seenaknya, sehingga orang ngawur namanya dan tak bisa jujur yang justru malah mengantarkan pada kehancuran. Dan umat Muhammad mempunyai kekhususan yaitu sanad. Jadi apa apa ada sanadnya. Dari Nabi dari Jibril dari Allah Ta'ala. Jika tidak begitu tidak sah)


    
Lah niki sababe ketolake Ibnu Hazmin, Hafizhul Maghrib. Dadi Ibnu Hazmin iku Hafizhul Maghrib. Zaman niku mboten wonten tiyang apal ngelmu koyo Ibnu Hazmin. Nanging ditolak kaleh ngulomo sedanten, sebab mboten enten sanade. Nggeh niku imam pertama kedue Muhammad bin Abdul Wahhab, kepalane torekat wahabiyah. Imam kedua nggeh niku Ibnu Taymiyah Tsani. Ilaa Akhirihi lajeng. Terus sak niki nggeh ngoten carane. Mergo sirrul aabaa' fil Abnaa' (rahasia ayah ada pada putranya).
(Itulah yang menyebabkan Ibnu Hazmin yang meskipun Hafizhul Maghrib tapi ditolak oleh semua Ulama karena tak adanya sanad. Jadi zaman itu tidak ada orang yang hafal ilmu seperti Ibnu Hazmin, yaitu imam pertamanya Muhammad bin Abdul Wahab pendiri Thariqah wahhabiyah. Imam keduanya yaitu Ibnu Taimiyyah dan seterusnya.)

    
Lah niku sedanten kapan seng mboten dugi mriku nggeh mboten ngertos, dadi dianggep bener, wong qurane podo, haditse podo, tek sembiyang geh podo, podo limang wektune. Nanging batine seng mboten podo. Lah kapan lahir kaleh baten mboten podo, nggeh 'Aine munafek, 'Aine kafer zindiq. Lah niki nguwatiri.
(Semuanya jika belum mengerti/sampai maqam tidak akan tahu, dan menganggap semua benar karena Qur'an, Hadist serta sembahyangnya memang sama, tapi kebatinannya yang tidak sama. Jika lahir dan batin tak sama, mirip munafik kafir zindiq. Itu yang mengkhawatirkan.)

Oleh : admin
Diambil dari dawuh Yai Muhammadun berikut pada menit 8-9
m.youtube.com/watch?v=j1fYPSziEfk

Sabtu, 07 Januari 2017

Kiai Hamid vs Ajax Amsterdam

    Pada era sebelum merdeka, di Lasem ada tim sepakbola bernama "Rodali". Konon, tim Rodali ini tim sepakbola terbaik dimasanya. Praktis setiap kali bertanding tim ini tak pernah kalah. Ya maklum, selain lihai mengocek bola, seluruh pemainnya pintar asmak dan sakti-sakti.

    Saking tenarnya tim Rodali menjelang piala dunia 1938 di Perancis, sampai-sampai pabrik gula Trangkil mengundang klub Ajax Amsterdam datang ke Jawa untuk melawan langsung tim Rodali.

    Kita mungkin tak menyangka, ternyata dalam susunan pemain tim Rodali ini ada Mbah Hamid Pasuruan, yang kemudian adalah seorang wali yang sangat terkenal. Pada waktu itu beliau masih muda dan bernama Abdul Mu'thi. Di antara pemain lainnya, ada Mbah Abdurrahim (adik Kiai Hamid), di bawah mistar ada mbah War (imam masjid Lasem).

    Namun sayangnya, pada pertandingan itu tim Rodali kalah sama Ajax Amsterdam. Ada yang nyeletuk, ternyata asmak dan kesaktian mbah Hamid dkk masih kalah cepat sama larinya pemain Ajax.

    Yah, walaupun kalah pemain-pemain Rodali yang bermain melawan Ajax pada waktu, di kemudian hari menjadi kiai-kiai yg begitu disegani.

Oleh : fp Pesanterpedia
Dengan sidikit ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1764548037101844&id=1609287705961212

Kamis, 05 Januari 2017

Kiai Umar, Ini Pertemuan Terakhir

Mbah Umar dengan Habib Luthfi
    Simbah Kiai Umar Sahid Pacitan
Meninggal Dunia dalam Usia 114 Tahun.
Santri Langsung Syaikh Mahfudz Atturmusi dan Mbah Dimyatu Termas serta santri Pendiri NU KH. Hasyim Asyari Jombang. Salah satu ulama sepuh sekaligus Mustaayar PCNU Pacitan KH Umar Syahid menghembuskan nafas terakhir, Rabu (4/1/2017) malam, sekitar pukul 22.55 wib di RSUD Pacitan.

    Semasa hidupnya, di Pacitan tidak ada yang tak kenal dengan Mbah Umar Tumbu. Dia merupakan ulama sepuh yang menjadi teladan bagi warga nahdliyin, khususnya di Pacitan. Mbah Umar merupakan pengasuh Pesantren Nur Rohman, Jajar, Donorojo.

    Beliau adalah figur Kiai yang dermawan dan lemah lembut. Pada masa remajanya, Mbah Umar Tumbu nyantri di Pesantren Termas Pacitan di bawah asuhan KH Dimyathi Abdullah. Dikenal dengan sebutan Mbah Umar Tumbu karena ketika remaja berprofesi sebagai penjual tumbu (wadah dari anyaman bambu) dengan berjalan kaki sembari berdakwah kepada masyarakat.

    Almarhum sangat dekat sekali dg maulana abuya Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan. Kira-kira satu tahun yang lalu, Kiai Umar Syahid meminta kepada Maulana Habib Luthfi bin Yahya untuk datang ke pesantrennya di Pacitan guna meresmikan masjid yang dibangun dengan dana sendiri. Disela-sela kunjungannya, almarhum Kiai Umar Syahid sempat mengatakan kepada Maulana Habib Luthfi bahwa pertemuannya kali itu dengan beliau adalah pertemuan yang terakhir. Ternyata benar, belum genap satu tahun dari pertemuan tersebut Kiai Umar Sahid meninggal dunia.

Oleh : fb Muhdor Ahmad
Dari berbagai sumber dengan ubahan kalimat.
www.facebook.com/story.php?story_fbid=438188076513227&id=100009661149825

Rabu, 04 Januari 2017

Kiai Umar Syahid, Pengabdian Tanpa Batas untuk NU dan Indonesia

   Kiai Umar Syahid waktu mudanya hidup sebagai kiai kelana, dengan jualan gerabah dan tumbu, hasil jualannya digunakan untuk membangun musolla dan masjid di sekitar Pacitan,  Ponorogo dan Madiun. Karena itu beliau dikenal  sebagai Mbah Tumbu.

    Saat peristiwa pemberontakan  PKI 1948 di Madiun, beliau sedang jualan di sana sehingga menyaksikan langsung pembantaian para ulama, dan selamat karena dikira orang biasa. Dan oleh sebab itu juga beliau menjadi informasi para Kiai dalam menghadapi  PKI, karena bisa berjalan ke mana saja tanpa dicurigai PKI.

    Walaupun hidup dalam kesusahan, Ulama Waliyullah ini selalu memikirkan NU dan bangsa. Karena itu saat terjadi demo di jakarta beliau mengajak keluarganya bermujahadah, karena dalam demo itu terdapat kelompok yg ingin melakukan makar. Beliau ulama waskito (makrifat) walau tidak pernah lihat TV atau pakai HP, tapi tahu persis anatomi konflik politik nasional yg sedang terjadi.

    Ketika fisiknya masih kuat, beliau keliling Jawa untuk menyiarkan Islam ala NU, dengan modal jualan Tumbu. Dan saat tidak lagi mampu berjalan bukan berarti pengabdiannya selesai.  Sebaliknya beliau memberi contoh yang seolah mampu menyindir kita yg masih sehat. Beliau rela meninggalkan pesantrennya kemudian mendirikan pendopo NU diatas lahan 1900meter, di sebuah desa di puncak bukit di Pacitan Selatan. Disebelah pendopo itu didirikan menara NU setinggi 17meter, yg dari dasar  hingga  puncaknya tertera logo NU serta tak lupa bendera  Merah Putih.

    Bagi orang lain akan menganggap ini perbuatan sia-sia, mengerjakan sesuatu yg tak jelas manfaatnya karena di pedalaman yang jarang dilihat dan didatangi orang. Tapi  beliau sedang membuat mercusuar untuk memberi kabar pada dunia Bahwa NU masih ada, walaupun sekian lama selalu ditindas. Menara itu jg sebagai mercusuar, agar kapal yg lewat,  yaitu agama lain dan ideologi lain tidak menabrak bumi NU dan bumi  Nusantara ini. Menara itu dirancang sendiri, dan kemudian diserahkan pada PCNU Pacitan.

    Di hari tuanya, Sang waliyullah itu rela hidup sendiri di tempat sepi sebagai Banser atau satpam  penjaga mercusuar NU itu. Persis seperti Kh Muchid Muzadi yang walaupun sudah sangat udzur, tetapi kalau diajak bicara NU dan NKRI langsung perkasa kembali, saking semangat dan cintanya pada NU dan Negara. Sosok Ulama yang pengabdiannya tanpa batas untuk NU dan Indonesia.

    Kini, dalam usia 114 tahun pada Rabu 7 Januari 2017 Kiai Umar Syahid yang merupakan murid serta teman seperguruan Hadhrotus Syaikh Kh Hasyim Asy'ari telah berpulang. Ada pesan beliau sebelum meninggal yakni, JAGA PERSATUAN, JAGA KEIMANAN KELUARAGA, JAGA NAMA BAIK NU, agar NU kembalai menjadi panutan bangsa.

Oleh : fb Guz UD Al Jawi
Dari Abdul Mun'im DZ, dengan ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1271936179568460&id=100002562712398