Kyai Mukhdlor adalah orang dari Bonang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah Indonesia. Beliau berkeinginan menyunting putri dari Mbah Ahmad Musthofa Mujarrod, yaitu Nyai Syamsiah.
Kyai Mukhdlor bernazar bila suntingan diterima akan membeli kuda yang terbaik untuk sebagai kendaraan istri dan akan berkata dengan bahasa yang halus (kromo Inggil, Jawa) kepada Nyai Syamsiah.
Hal itu, karena Nyai Syamsiah adalah salah satu Keturunan orang besar, dan Kyai Mukhdlor merupakan putra seorang nelayan, tetapi beliau adalah orang yang berilmu.
Setelah lamaran diterima, Nyai Syamsiah mengajukan syarat agar tidak dikumpuli Sebelum keduanya melaksanakan haji. Pada waktu itu perjalanan untuk haji dengan menumpang kapal layar dari Indonesia membutuhkan waktu sekitar empat bulan.
Perjalanan pun dimulai, akan tetapi di perjalanan terdampar di pulau Mondoliko, Jepara. Sebuah pulau kecil yang masuk dalam daerah Keling Jepara. Di Pulau tersebut terdapat dua Maqbaroh Sayyid.
Untuk menunggu arah angin yang menuju arah barat, mereka melakukan tirakat di kedua Maqbaroh tersebut.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan terdampar kembali di Pulau Penang Malaysia. Di Pulau ini pun terdapat Maqbaroh Sayyid, tepatnya di dekat masjid kapitan Keling Pulau Penang Malaysia. Dan mereka melakukan tirakat dan menunggu arah angin.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan terdampar kembali di Pulau Singapura, tepatnya di dekat masjid Malabar. Dan melakukan tirakat di Maqbaroh Sayyid di sana.
Setelah selesai, mereka melanjutkan perjalanan dan sampai di Jeddah sudah tanggal sembilan Dzul Hijjah sehingga menunggu setahun kemudian untuk melaksanakan haji. Dan pada waktu itu, mereka bertaallum kepada orang-orang Alim di Makkah.
Setelah melakukan haji, mereka pulang.
Mbah Mukhdlor dan Mbah Syamsiah mempunyai tiga anak dan diberi nama sesuai dengan nama tempat terdampar.
1. Mbah Mondoliko, yang menurunkan kyai-kyai Tuban, di Pondok Shomadiyyah.
2. Mbah Penang, yang dinikahi oleh Mbah Ghozali bin Lanah yang menurunkan kyai-kyai Sarang, termasuk Mbah Maimoen Zubair.
3. Mbah Singgapur (Mbah Misbah) yang menurunkan kyai-kyai Sidoarjo. Salah satunya adalah Mbah Ali Masyhuri.
Mbah Mukhdlor dan Mbah Syamsiah dikuburkan di Lebo, Sidoarjo. Sedangkan mbah Ahmad Musthofa Mujarrod dikuburkan di desa ngepoh Sidoarjo.
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد اللهم بلغنا زيارتهم بسهولة إنك على ما تشاء قدير وبالإجابة جدير...
Oleh : fb Kanthongumur
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1032203423599723&id=100004302244939
Rabu, 17 Januari 2018
Jumat, 05 Januari 2018
Foto KH. Abdul Karim Lirboyo
Mbah Manab atau KH. Abdul Karim, merupakan pendiri pondok pesantren Lirboyo Kediri. Seoarang yang sangat rendah hati dan hampir selalu menundukkan kepala. Untuk sekedar difoto pun beliau tidak berkenan, sehingga tak heran meskipun difoto tak mempan.
Hingga ketika akan berangkat haji kedua kalinya bersama sang istri Nyai Dlomroh tahun 50 an, Mbah Mahrus sebagai menantu yang mengurus segala persyaratan matur pada Mbah Manab supaya berkenan difoto. Itupun Mbah Mahrus harus merayu, jika tidak berkenan difoto untuk pasport tidak bisa berhaji.
Di tengah pemotretan, Mbah Mahrus harus matur berulang kali supaya Mbah Manab berkenan menegakkan kepala beliau. Alhasil itulah satu-satunya foto beliau berdua yang ada, itupun sempat hilang entah kemana. Hingga suatu saat ada salah seorang santri membeli kitab di sebuah pasar (pasar pahing), dan menemukan foto disela kitab. Kemudian diperbanyaklah foto tersebut oleh pengurus dan menjadi satu-satunya rujukan foto beliau.
Oleh: fb Mbah Bram
Dengan sedikit penyesuaian
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211780474775613&id=1481401194&fs=4
Hingga ketika akan berangkat haji kedua kalinya bersama sang istri Nyai Dlomroh tahun 50 an, Mbah Mahrus sebagai menantu yang mengurus segala persyaratan matur pada Mbah Manab supaya berkenan difoto. Itupun Mbah Mahrus harus merayu, jika tidak berkenan difoto untuk pasport tidak bisa berhaji.
Di tengah pemotretan, Mbah Mahrus harus matur berulang kali supaya Mbah Manab berkenan menegakkan kepala beliau. Alhasil itulah satu-satunya foto beliau berdua yang ada, itupun sempat hilang entah kemana. Hingga suatu saat ada salah seorang santri membeli kitab di sebuah pasar (pasar pahing), dan menemukan foto disela kitab. Kemudian diperbanyaklah foto tersebut oleh pengurus dan menjadi satu-satunya rujukan foto beliau.
Oleh: fb Mbah Bram
Dengan sedikit penyesuaian
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211780474775613&id=1481401194&fs=4
Langganan:
Postingan (Atom)