Rabu, 22 Februari 2017

Mbah Salam Pati Cegah Mengaji Al-Hikam

Putra Mbah Salam, Kiai Abdullah Salam (tengah) bersama Habib Luthfi Pekalongan dan Habib Ali Bafaqih Bali

    Al-Hikam, kitab karangan seorang sufi besar Syeikh Ibnu 'Athoillah ini sangatlah terkenal bagi umat Islam. Kitab ini membahas tasawwuf atau kerohanian dalam beragama, guna menjalankan hati dalam penghambaan. Di Indonesia, hampir seluruh Kiai khususnya aswaja memberikan kajian kitab ini kepada santri-santrinya. Mengingat isi kalam-kalam hikmah kitab ini begitu dalam yang mampu menghipnotis kerohanian pembacanya untuk lebih berma'rifat kepada Allah.

    Tapi rupanya tidak bagi Kiai Salam (Mbah Salam) Kajen Pati, setiap ada orang mengaji kitab al-Hikam justru dilarang. Dan bukan hanya basa basi, siapa yang tak diizinkan Mbah Salam ternyata setiap melihat isi kitab Al-Hikam malah kebingungan. Al-Alamah Mbah Mahfudz pun tak luput mengalami demikian, karena beliau juga tidak diizinkan oleh Mbah Salam.

    Mungkin cara pandang tentang thariqah beliau, seperti pandangan Imam Malik dan beliau menjabarkan,
"ilmu Thoriqoh kui dak usah ti ji, angger mu'takade sah lajeng ngamal coro syariat InsyaAllah inkisyaf, dugi mriku piyambak."
("ilmu Thoriqoh itu tidak perlu dipelajari, asal i'tiqodnya benar dan beramal secara syariat, insyaAllah akan kasyaf sampai sendiri")

    Mungkin tampak aneh, karena akhirnya putra Mbah Salam sendiri yakni Mbah Abdullah Salam begitu menguasai dalam mengkaji kitab Al-Hikam. Dan ternyata hal tersebut atas izin Sang Wali Pasuruhan, Kiai Hamid. Sampai-sampai KH. Muhammadun Tayu Pati dawuh yang kurang lebih,
"Jika saja Mbah Abdullah belum mendapatkan izin dari Kiai Hamid untuk mengkaji Al-Hikam, Mbah Salam ayahnya yang didalam kubur akan menemui Mbah Abdullah dan tetap tidak mengizinkan. Tapi kalah dengan keromah Mbah Hamid"

Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil kurang lebihnya dari dawuh KH. Muhammadun Pondowan Tayu Pati

Senin, 13 Februari 2017

Kiai Ma'ruf Irsyad Mendatangi Ilmu

KH. Ma'ruf Irsyad (kiri) dan KH.Arifin Fanani
    Suatu hari, KH. Ma’ruf Irsyad (Allah yarham), disowani (didatangi) seseorang, untuk keperluan menanyakan perihal hukum fiqih. Kepada Kiai Ma’ruf, sang tamu menjelaskan pertanyaannya, begini dan begitu.
“Jenengan tunggu di sini, saya tanyakan dulu kepada kiai yang lebih alim dalam masalah ini,” kata Kiai Ma’ruf.
    KH. Ma’ruf Irsyad Kudus kemudian mengambil sepeda unta miliknya, yang biasa beliau gunakan mengajar di Madrasah TBS Kudus dan Qudsiyah. Dikayuhnya sepeda butut tersebut ke arah Utara. Ternyata, beliau pergi ke ndalem (rumah) KH. Arifin Fanani, Kwanaran, kiai pakar ilmu fiqih di Kudus.
    Kiai Ma’ruf mengetuk pintu. Dibukalah pintu itu oleh KH Arifin sendiri. Kebetulan tidak sedang tindakan (bepergian). Kepada Kiai Arifin, Kiai Ma’ruf menjelaskan maksud kedatangannya, menanyakan perihal hukum yang termaksud. Mendengar itu, Kiai Arifin terkejut. Kepada Kiai Ma’ruf yang usianya lebih sepuh puluhan tahun, Kiai Arifin bertanya:
“Panjenengan kok dibela-belain datang ke sini, menaiki sepeda sendirian. Alangkah baik umpama cukup lewat telepon saja, yi,”
“Ilmu itu didatangi, dan dia tidak (patut) mendatangi,” kata Kyai Ma’ruf.

Oleh : Santrimenara

Kamis, 09 Februari 2017

Kiai Chudlori dan Santri Pencuri Bebek


    Pesantren API Tegalrejo masih diasuh Kiai Chudlori. Suatu malam ada santri mencuri bebek (menthok, jawa). Cak Min, warga pemilik bebek awalnya curiga melihat aliran air membawa bulu-bulu bebek, langsung saja menyelidiki dari mana asal bulu-bulu tersebut. Ternyata di atas bukit sedang asyik santri menyembelih bebeknya. Tanpa menegur santri, Cak Min ke Pesantren dan melaporkan pada keamanan Pesantren. Langsung, keamanan melaporkan kejadian tersebut pada Kiai Chudlori. Bukannya mendapat respon, Kiai menanggapi datar dan hanya mengiyakan.

    Esoknya, bukannya santri yang dipanggil Kiai menghadap, tapi malah Cak Min pemilik bebek dijumpai oleh Kiai.
Dengan nada berharap, Kiai dawuh pada pemilik bebek
"Cak, santriku itu dibelain jauh-jauh mondok kemari,, masa karena bebek njenengan, hilang keberkahan ilmunya"

"Bukannya begitu Yai, tapi... "

"Tolong dimaafkan ya Cak, ini sebagai ganti ruginya"
Kiai sambil memberikan uang pada pemilik bebek.

    Santri tidak mengira bahwa Kiai tahu apa yang dia lakukan. Karena Kiai sendiri juga tak sedikit pun marah atau bagaimana, seolah tak terjadi apa-apa dan santripun merasa aman-aman saja. Hingga dua bulan berlalu, ketika Kiai mengajar Nahwu dan seperti biasa tamrinan, yakni Kiai memberikan pertanyaan pelajaran sebelum pelajaran usai. Sampai pada bab alam / nama khusus dan umum (personal/general).

Kiai menunjuk santri tersebut, dan santripun berdiri tanpa ada curiga,
"Fulan,, bebek itu nama khusus apa nama umum"

Bukannya menjawab pertanyaan, santri tersebut malah bersimpuh dan menangis di depan Kiai.
"Maaf, Kiai maaf,, saya mencuri Kiai,, maaf"

    Dengan sendirinya dia tersadar, bahwa sebenarnya Kiai mengerti semua yang terjadi. Dan dengan kasih sayang serta berkah doa Kiai itulah, santri tersebut tetap mendapatkan keberkahan ilmu dan menjadi Kiai besar.

Adalah bagaimana Ulama terdahulu membimbing dan menghadapi kesalahan seseorang. Memanusiakan manusia.

Oleh : admin Imam Mahmudi
Diambil dari dawuh Gus Dur dan KH M. Najib Muhammad.