Jumat, 30 September 2016

Istikharah KH. Hasyim Asy'ari Tentang Bentuk Negara


    Diwaktu terbentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia BPUPKI dan KH. A. Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya, disaat memperdebatkan bentuk negara apakah negara Islam atau nasional,  KH. Hasyim Asy'ari yang selalu memantau perkembangan melakukan istikhoroh dan hasilnya, beliau bermimpi bila mendirikan negara Islam adalah ibarat rumah bagus namun dilempari orang. Bila negara kesatuan nasional maka ibarat rumah jelek namun ayem tentrem. (Dawuh KH. Abdul Aziz Manshur sewaktu di Tambak Beras Jombang sebagaimana di ceritakan oleh gus Rozaq Sholeh)

Oleh : fb Mbah Bram
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10207913912033961&id=1481401194

Berjalan Demi Memuliakan Ilmu

Mbah Dalhar Watucongol selama pengembaraannya menimba ilmu di berbagai tempat, selalu berangkat dengan jalan kaki. Bukan karena tak mampu untuk berkendara, bahkan beliau adalah dari kalangan priyayi. Tiada lain karena demi memuliakan ilmu dan ahli ilmu (guru), beliau sangat menta'dzimi.

Maka ketika Mbah Shonhaji Kebumen hendak nyantri di Watucongol dan meminta izin pada ayahandanya, dijawab harus jalan kaki. Sebuah wujud ta'dziman dan takriman lahir dan batin.

Pun saat Mbah Utsman al-Ishaqy Surabaya diutus oleh Mbah Hasyim Asy'ari untuk menemani sekaligus nyantri (ngaji) ke Mbah Romli Tamim Jombang, selalu berangkat dengan jalan kaki. Hal itu berlangsung selama tahunan, hingga jika bukan karena Mbah Hasyim yang memintanya berhenti niscaya akan dilakukan selamanya dengan jalan kaki.

Jika di Tegal keteladanan seperti ini yang masyhur adalah kisah ngajinya Kiai Said bin Armia Cikura ke Kiai Abu Ubaidah Giren Talang Tegal, hingga akhirnya menjadi menantu sang kiai.

Semoga keteladanannya bisa kita resapi, tiru, meski sedikit demi sedikit, insya Allah keberkahan akan kita tuai. Amin, Ilahiy Anta maqshudi waridhaka mathlubiy.

Oleh : fb Sya'roni As-Syamfuriy
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1767938690127229&id=100007333444605

Minggu, 11 September 2016

Takbir Mbah Moen


Setelah Isya di Mushalla al-Anwar Sarang ada takbiran, para santri membaca takbir dan ketika sampai pada lafadz:

مخلصين له الدين ولو كره الكافرون

Sebagian dari mereka menambahi dengan

ولو كره المشركون، ولو كره المنافقون

Syaikhuna KH. Maimoen Zubair yang waktu itu ada di ruang tamu dan mendengar, beliau memanggil salah satu santri kemudian memberi titah:

“Cong, sing moco takbir kandani, lafale iku cukup ولو كره الكافرون, ojo mok tambahi ولو كره المنافقون. Yen pengen nambahi yo cukup ditambah ولو كره المشركون kerono sing kewarid nang Qur’an iku mung loro, yoiku: ولو كره الكافرون karo ولو كره المشركون. Dene ولو كره المنافقون ora ono nang Qur’an. Wong munafiq iku senajan haqiqote wong kafir, namung mlebu barisane wong Islam, kerono iku ojo dimungsuhi senajan gething. Yen dimungsuhi, lak podo dene mungsuhan karo podo Islame.”

(Cong, yang baca takbir diberi tahu, lafalnya itu cukup ولو كره الكافرون, jangan ditambahi ولو كره المنافقون. Kalau ingin menambahi, ya cukup ditambah ولو كره المشركون karena yang warid dalam al-Quran itu cuma dua, yaitu: ولو كره الكافرون dan ولو كره المشركون. Sementara itu ولو كره المنافقون tidak ada di al-Quran. Orang munafiq itu walaupun hakikatnya orang kafir, namun masih termasuk barisan orang Islam, karena itu, jangan dimusuhi walaupun membahayakan. Kalau dimusuhi, sama saja bermusuhan dengan sesama Muslimnya).

Anak kecil yang lemah itu pun segera ke mushalla dan membukakan buku kumpulan “Nubdzat al-Anwar” pada bab “Takbir al-Ied” dan menyampaikan titah sang Guru Besar kepada mereka.

(Saya copas ulang dari literasi yang kebanyakan tidak mencantumkan sumbernya. Padahal penting disebutkan, dalam hal ini, siapa penceritanya/sumber cerita.?).
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1731564990431266&id=100007333444605



Shighot Takbir itu sudah CUKUP dengan :

أللّه أكبر  أللّه أكبر  أللّه أكبر

Kalau ditambah seperti yang biasa kita baca / dengar, itu BAIK.

الحاوى الكبير ، ج ٢ ، ص ٥٠٠

(باب التكبير)
قال الشافعي: رضي الله عنه: " والتكبير كما كبر رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في الصلوات (قال) فأجب أن يبدأ الإمام فيقول الله أكبر ثلاثا نسقا وما زاد من ذكر الله فحسن ".
قال الماوردي: وهذا كما قال السنة المأثورة عن النبي - صلى الله عليه وسلم - في هذه الأيام أنه يكبر ثلاثا نسقا فيقول الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا يفصل بينهن بشيء، فإن زاد على ذلك فقال الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، وسبحان الله بكرا وأصيلا، لا إله إلا الله وحده، صدق وعده، ونصر عبده، وسبحان الله وحده، لا إله إلا الله والله أكبر مخلصين له الدين ولو كره الكافرون كان حسنا، وما زاد من ذكر الله سبحانه فحسن.
وقال أبو حنيفة يقول الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر ولله الحمد، وبه قال عمر وعلي رضي الله عنهما وعليه عمل الناس في وقتنا، وما ذكرنا من الثلاث النسق أولى، لأننا روينا عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال على الصفا مع ما ذكرنا من الزيادة، ولأنها تكبيرات زيدت شعارا للعيد فكانت وترا كتكبيرات الصلاة، وكيف كبر جاز.

w.facebook.com/story.php?story_fbid=1618479415148364&id=100009589638766

Sabtu, 10 September 2016

Kerukunan Dalam Perbedaan Kiai

Kalo ada para Kiai saling beda pendapat itu ya lumrah, biasa, memang dari dulu ya seperti itu, mulai jaman 'asu ra enak' ya emang gitu. Ulama dahulu juga saling beda pendapat, hingga muncul lah berbagai madzhab. Bahkan para Sahabat Radhiyallahu Anhum ketika masih ada Rasulullah saw. di sisi mereka saja juga biasa berbeda pendapat. Kog Sahabat, lha wong dalam Al Qur'an sendiri, Allah swt. juga telah menjelaskan dengan firman-Nya, bahwa ketika dalam satu masa ada tidak hanya satu Nabi juga mereka biasa beda pendapat. Seperti antara Nabi Ibrahim dan Nabi Luth alaihimas salam yang berbeda dalam cara menyambut tamu. Antara Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimas salam dalam cara berdakwah. Atau antara Nabi Dawud dan putranya sendiri, Nabi Sulaiman alaihimas salam, yang jelas-jelas beda pendapat dalam hal mengambil keputusan peradilan. Namun semua, mulai dari Kiai hingga Para Nabi, inti dakwah mereka pastilah sama, Rahmatan Lil 'Alamin.

Jadi ya ngga perlu ngotot ngotot 'mbelani' satu Kiai hingga merendahkan Kiai lainnya, lha wong beliau beliau yang saling beda pendapat dan menyalahkan pendapat lainnya itu saja ngga ngotot kog.

Bukankah Para Kiai NU sudah banyak mencontohkan. Seperti antara Mbah Hasyim Asy'ari yang terkenal lebih memilih hukum yang berat-berat demi ihtiyath, seperti mengharamkan kentongan, yang berhadapan dengan Mbah Faqih Maskumambang, yang terkenal lebih memilih hukum yang ringan, beliau memperbolehkan kentongan, tapi keduanya saling menghormati.

Antara Mbah Zubair Dahlan, abahnya Mbah Maimoen Zubair, yang karakternya persis Mbah Hasyim, suka ihtiyath dalam memilih hukum, beliau mengharamkan kepiting. Berbeda dengan Mbah Muhammadun Pati, yang menghalalkan makan kepiting. Tapi beliau berdua juga ngga ngotot ngototan, buktinya beliau berdua malah besanan, menyatukan Mbah Aniq Muhammadun dan Putri Mbah Zubair.

Luhumul Ulama masmumah, jangan main-main dengan kehormatan dan kemuliaan para Ulama dan Kiai.

Oleh : fb Ahmad Atho
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1421328534550526&id=100000201796519&ref=bookmarks

Rabu, 07 September 2016

Haji Tanpa Berhaji


♡ Tadzkirotul Auliya

TAK JADI BERHAJI DEMI PERUT TETANGGA

Seusai musim haji, Abdulloh bin Mubarok, seorang ulama masyhur pada abad ke-12 tertidur dekat Multazam. Ia seolah-olah mendengar dua malaikat bercakap-cakap.
"Ada Enam ratus ribu jemaah haji tahun ini, namun tidak seorang pun yang Mabrur, (hajinya diterima)," kata malaikat yang satu.
"Ada, seorang. Walaupun tidak datang kesini, tetapi Alloh subhanahu wata'ala berkenan memberinya ganjaran haji mabrur," kata malaikat yang satu lagi.
"Siapa dia?"
"Ali al Muwaffaq, tukang sepatu miskin di Damaskus."

Abdullah bin Mubarak terkejut, Begitu bangun, segera bersuci. Segera melaksanakan thowaf wada, dan segera berangkat ke Damaskus, ingin bertemu Ali al Muwaffaq. Ingin tahu amal apa yang ia lakukan sehingga mendapat ganjaran haji mabrur tanpa datang ke Mekah. Padahal enam ratus ribu orang yang melakukan wuquf di Arofah, jumroh di Mina, dan rukun serta wajib haji lain, malah Mardud (tertolak hajinya).

Setelah Abdulloh bin Mubarok bersusah payah menempuh perjalanan Mekah-Damaskus, akhirnya Ali al Muwaffaq dijumpai. Sehabis mengucapkan salam dan istirahat sebentar, Abdulloh memohon agar Ali al Muwaffaq mengisahkan amal perbuatan yang menyebabkannya mendapat ganjaran haji mabrur tanpa mengikuti ritual haji di Mekah pada saat itu.

Semula Ali bungkam membisu. Namun, setelah terus didesak akhirnya diam dan mau berbicara.

"Tiga puluh tahun aku menabung untuk mengumpulkan biaya perjalanan haji. Sangat susah payah mengingat penghasilanku sebagai pembuat sepatu, amat minim. Tahun ini tabunganku genap 350 dirham. Cukup untuk sekedar bekal dengan cara berhemat dan sederhana. Nah, semalam sebelum keberangkatan, istriku yang sedang mengidam mencium harum masakan dari rumah tetangga sebelah. Ia merengek-rengek agar aku memintakan sedikit saja dari hidangan yang menggiurkan itu."

"Maka kudatangi rumah tetanggaku. Seorang janda miskin dengan tiga anak kecil-kecil. Kuketuk pintu, dan kuucapkan salam, sambil menerangkan maksud kedatanganku membawa keinginan dari istri yang sedang mengidam. Ia tampak terkejut, lalu berkata pelan.
"Saudaraku Ali, memang aku sedang memasak daging unta. Akan tetapi, itu hanya halal bagiku dan anak-anakku. Bagimu dan istrimu haram.
"Mengapa?" aku tak kalah terkejut.
"Kami sudah tiga hari tidak makan. Hampir mati kelaparan. Tadi pagi anakku menemukan bangkai unta tergeletak dibawah rumpun. Kami kerat/potong daging pahanya, dan kami masak, sekadar menghilangkan rasa lapar," jawabnya.

"Mendengar itu, aku segera berlari pulang. Kuambil uang 350 dirham untuk bekal haji. Kuberikan kepada tetanggaku yang terpaksa memakan daging bangkai unta tersebut. Aku ingat sabda Rasululloh Muhammad shollallohu 'alaihi wasallama, yang menyatakan bahwa; "Tidak akan masuk surga orang yang tidur dengan perut kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan". Biarlah aku tidak jadi berhaji tahun ini, asal tetanggaku tertolong." Ali al Muwaffaq mengakhiri kisahnya.

Abdulloh bin Mubarok meneteskan air mata, dan bergumam, "Malaikat-Malaikat itu telah berbicara benar dalam mimpiku, dan Penguasa Alam Semesta (Alloh 'Azza wa Jalla) benar-benar Maha Adil pertimbangan-Nya."

Oleh : fb Moh Minanurrochim
www.facebook.com/photo.php?fbid=808013142553890&id=100000356365844&set=a.314283291926880.73231.100000356365844&comment_id=1197587620263105&notif_t=photo_reply&notif_id=1473250781234553&ref=m_notif