Selasa, 29 November 2016
Gus Dur, Penakluk Lawan dengan Kasih Sayang
Praktek aji Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti (keperkasaan angkara lenyap dengan kasih sayang) ala Gus Dur dan Kyai Ahmad Siddiq. Pak Harto, suatu ketika akan mencalonkan Beny Murdani sebagai wakil presiden. Yg tak lain seorang yg diduga sebagai otak pembantaian umat Islam di Tanjung Priok tahun 80'an. Gus Dur segera mengambil langkah mendekati Pak Beny yang sebenarnya seorang Nasrani untuk mengajaknya safari keliling di kantong-kantong NU, dan memperkenalkannya sebagai calon presiden, tidak sekedar wakil seperti yang dikehendaki Pak Harto. Langkah ini merangkul Pak Beny, dan dia merasa diorangkan, merasa diakui dan merasa mendapat dukungan. Tapi resikonya, Gus Dur dimusuhi, baik oleh Pak Harto dan warga NU. Bagaimana mungkin Gus Dur mencalonkan Pak Beny sebagai Presiden? Bagi Pak Harto ini sebuah perlawanan. Lha wong Gus Dur ya santai saja menghadapi serangan-serangan itu.
Saat di pesantren Muayyad, Kyai Ahmad Siddiq diminta melanjutkan apa yang sudah ditempuh Gus Dur, dan Kyai Ahmad Siddiq secara terang-terangan menyampaikan pesan kepada Pak Beny,”Pak Beny, Anda tahu tidak, dalam beberapa bulan terakhir ini Gus Dur dibenci dan dicaci oleh hampir semua umat Islam di Indonesia yang selama ini menghormatinya. Anda tahu apa sebabnya?”
“Saya tidak tahu, Pak Kyai?” jawab Pak Beny.
“Penyebabnya adalah Anda, Pak Beny. Pencalonan Anda sebagai wakil dan presiden telah mengundang kemarahan umat Islam. Itu artinya bangsa Indonesia tidak mau dipimpin oleh anda. Maka, demi kebaikan bangsa ini, kami menyarankan Anda mundur dari pencalonan baik sebagai wakil maupun presiden!”
Tak lama setelah itu melalui media massa LB Moerdani menyatakan mundur dari pencalonannya. Umat Islam di negeri ini menjadi lega dan suhu politik kembali normal. Apakah Pak Beny benci kepada para kyai? Oh TIDAK..!!
untuk Gus Dur, Kyai Ahmad Siddiq ---- Al Fatihah
Oleh : fb Sururu Arumbani
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10208523567308132&id=1276512258
Dengan sedikit tambahan dan ubahan
www.facebook.com/story.php?story_fbid=733876710101377&id=100004371630091¬if_t=feed_comment_reply¬if_id=1480435593751508&ref=m_notif
Jumat, 25 November 2016
Dibalik Kopyah Hitam dan Baju Yai Marzuki Lirboyo
Mbah Yai Marzuqi Dahlan Lirboyo, adalah sosok yang polos dan sangat wirai. Sering beliau terlihat hanya memakai kaos oblong compang camping atau bahkan terkadang malah bertelanjang dada bukan karena gerah atau panasnya udara, tetapi karena baju beliau satu-satunya sedang dicuci.
Ada lagi yg mungkin menggambarkan bagaimana sangat tawadhu'nya beliau. Yakni beliau punya pendirian, bahwa tidak pantas seseorang yang belum berhaji memakai kopyah haji. Sehingga setiap ada tamu memakai kopyah haji pasti beliau panggil dengan pak haji. Akhirnya pondok Lirboyo pun akhirnya membuat aturan bagi santrinya, untuk tidak memakai kopyah haji bagi yang belum berhaji.
Kebetulan beliau berhaji ketika sudah sepuh, itupun mbah Marzuqi memakai kopyah haji, bersorban dan berjubah hanya ketika berjamaah. Sedangkan untuk menghadiri undangan atau lainnya beliau tetap memakai kopyah hitamnya.
Oleh : fb Mbah Bram
Dengan sedikit tambahan dan ubahan kalimat
www.facebook.com/story.php?story_fbid=10208491234066651&id=1481401194
Jumat, 11 November 2016
Akhlak Cicit Rasulullah
Beberapa waktu setelah tragedi Karbala, Yazid bin Muawiyah memerintahkan eksekusi terhadap beberapa orang jenderal sebab suatu masalah. Salah satunya adalah lelaki yang juga terlibat dalam pembantaian di Karbala.
Karena merasa terancam, lelaki itu melarikan diri ke Madinah. Di sana, ia menyembunyikan identitasnya dan tinggal di kediaman Imam Ali Zainal Abidin bin Husein, cicit Rasulullah yang selamat dari pembantaian Karbala. Di rumah sosok yang dikenal sebagai 'as-Sajjad' (orang yang banyak bersujud) ini, lelaki itu betul-betul dijamu dengan baik.
Ia disambut dengan sangat ramah dan disuguhi jamuan yang layak dalam tiga hari. Setelah tiga hari, lelaki pembantai dalam tragedi Karbala itu pamit pergi. As-Sajjad memenuhi kantong kuda lelaki itu dengan berbagai macam bekal, air, dan makanan.
Lelaki itu sudah duduk di atas pelana kidanya, namun ia tak kuasa beranjak. Ia termenung atas kebaikan sikap As-Sajjad. Ia merasa trenyuh karena sang tuan rumah tak mengenali siapa dia sebenarnya.
"Kenapa engkau tak beranjak?" tegur As-Sajjad. Lelaki itu diam sejenak, lalu ia menyahut,
"Apakah engkau tidak mengenaliku, Tuan?"
Giliran As-Sajjad yang diam sejenak, kemudian ia berkata,
"Aku mengenalimu sejak kejadian di Karbala."
Lelaki itu tercengang. Ia tergugu dan memberanikan diri bertanya,
"Kalau memang engkau sudah mengenaliku, mengapa kau masih mau menjamuku sedemikian ramah?"
As-Sajjad menjawab,
"Itu (pembantaian di Karbala) adalah akhlakmu. Sedangkan ini (keramahan) adalah akhlak kami. Itulah kalian, dan inilah kami."
_________
*Dikisahkan oleh Syaikh Muhammad Tahir Ul Qadri, Pakistan.
https://mobile.facebook.com/Tahirulqadri/?_rdr
Diterjemahkan oleh Santrijagad
Oleh : fb Rijal Mumazziq Z
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1125598164188485&id=100002149375608
Selasa, 08 November 2016
Jangan Ceritakan Sampai Aku Mati
KH. Chamim Djazuli (Gus Miek)
"Jangan ceritakan kejadian ini sampai aku mati", Dawuh mbah Yai Hayat Rois Syuriah PCNU Nganjuk tahun 80 an. Waktu pulang dari rapat besar NU di surabaya, ternyata mobil yg beliau kendarai bersama rombongan kehabisan bensin di tengah malam dan jauh dari pemukiman warga. "Waduh gimana ini yai?" Keluh salah satu anggota rombongan. Dengan santai beliau berkata, "Haa,,, sana cari air di kali,,,"
"Untuk apa?".
"Pokoknya cari saja,,,,".
"Injih yai,,,,".
Setelah mendapatkan air,,, beliau berkata, "Nohh masukkan ke tempat bensin,,,".
"Mbah yai???'.
"Masukkan sajalah,,,".
Setelah air sungai di masukkan, "Coba, stater mobilnya,,," kata beliau. Dan,,, Jrengggg,,,,, mobil langsung nyala.
Begitu pula Mbah Yai Chamim Jazuli, atau lebih dikenal dengan Gus Miek.
Setelah menghadiri semaan Mantab di daerah Nganjuk pd tahun 80 an juga. Beliau diantar oleh salah satu jamaahnya yg bernama yai Faqih dengan menggunakan sepeda motor. Tapi di tengah jalan bensinnya habis.
"Kamu itu,,,, sebenarnya Ikhlas ngga sih nganterin aku?" Seloroh gus Miek. Dan di jawab dengan Nyengir khas Santri Galau. "Yaa udah,,, ayo marung saja,, itu di depan ada warung. Lha malam2 gini cari bensin kemana?"
Setelah duduk di warung, "Pesen Teh hangat tiga pak,,," pinta beliau.
"Kok tiga Gus? Lha satunya untuk siapa??".
"Sudaaahhh minum saja tehmu,,,".
"Alhamdulillah,,, dah habis gus,,,".
"Satu yg utuh itu, bungkus saja. Ayo kita teruskan perjalanan,,,".
Sambil bawa bungkusan plastik teh hangat, yai Musyafa' clingak-clinguk di depan motornya. Lha gimana tidak? Motor gak bisa jalan buat apa?.
"Cepat masukkan teh hangatmu itu ke tanki motor,,,"
"Waduhhh,,, bisa protol nanti mesin motorku,,," batin yai Faqih.
"Heiii,,, kenapa diam? Cepat masukkan,,,".
"Njih Gus,,,"
"Sekarang stater,,,"
Dan,,,, mak Jreennggg juga,, keduanya lalu meneruskan perjalanan sampai ke ndalem Gus Miek. Alih2 mensilahkan masuk utk istirahat sebentar. Beliau malah dawuh, "Jangan di matikan mesinnya,,, langsung pulang sana. Keburu habis bengsin-bengsinannya,,,"
------
Kisah dari Mbah Yai Baghowi (Suriah NU Nganjuk) dan Kangmas Nabhan Ibnul Qayyim (Ponaan Yai Faqih.)
Lahuma, wa lijamiil ulama wassaalihin, Alfaatihah,,,
Oleh : fb Robert Azmi
www.facebook.com/story.php?story_fbid=228491600899764&id=100012167760823
Rabu, 02 November 2016
Kiai Hamid Dalam Mengajar
Ada satu kisah dari Waliyulloh Agung dari Pasuruan, Kiai Hamid, tentang bagaimana seharusnya seorang guru menghadapi murid yang tidak sesuai dengan harapannya.
Suatu hari di sekitar tahun 60-an, salah seorang santri beliau yang menjadi pimpinan GP Ansor Cabang Pasuruan nyaris putus asa dalam kaderisasi di ranting-ranting. Pasalnya, dari 100 lulusan pelatihan, paling hanya ada 3-5 orang kader saja yg betul-betul bisa diandalkan. Dalam kegalauannya ini, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid dahulu untuk konsultasi.
Saat dia sowan, sembari menunjuk pada pohon-pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah, Kiai Hamid berkata panjang lebar.
"Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu, baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa. Lho setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yg saya butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit. Lha itu sunnatulloh. Lha yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat."
Kalau inginnya mencetak orang 'alim, tidak bisa diharapkan bahwa semua murid di kelas itu bakal jadi 'alim semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan. Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 %, tapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain. (dari buku Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan)
Oleh : fb Ahmad Atho
www.facebook.com/story.php?story_fbid=1506775566005822&id=100000201796519
Langganan:
Postingan (Atom)